Picture
SEMARANG – Sejumlah pengembang di Semarang yang membangun ratusan rumah sederhana di Kecamatan Mijen, Gunungpati, dan Ngaliyan terancam rugi miliaran rupiah, karena tidak bisa menjual unitnya lantaran terhadang peraturan daerah setempat.

MR Priyanto, Wakil Ketua Bidang Pembinaan Daerah, DPD Real Estate Indonesia (REI) Jateng mengatakan saat ini ada sekitar 250 unit rumah sederhana yang telah terbangun di Kecamatan Mijen, Gunungpati, dan Ngaliyan, tidak bisa dijual kepada masyarakat.

“Tidak bisa dijualnya unit rumah ini dikarenakan terhambat adanya  peraturan daerah (Perda) Kota Semarang No.14/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),” tuturnya, kepada Bisnis, Kamis (7/3/2013).

Menurutnya, dalam perda itu terdapat pasal yang mengatur pembangunan perumahan di Ngaliyan, Mijen, dan Gunungpati, diharuskan luas kapling lahan minimal 120 meter persegi dengan koefisien dasar bangunan 40%.

Padahal, lanjutnya, ratusan unit rumah sederhana yang telah dikembangkan oleh 12 developer di tiga kecamatan itu, telah dibangun sebelum perda tersebut  lahir, dengan luasan bangunan kurang dari 120 meter persegi.

“Banyak pengembang yang kesulitan menjualnya, dan bahkan sejumlah masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah membeli pun, juga sulit mendapatkan sertifikatnya, karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak bersedia membuatkan sertifikatnya,” tuturnya.

Menurutnya BPN tidak bersedia mengeluarkan sertifikat dikarenakan, luasan tanah unit rumah tersebut tidak sampai 120 meter persegi seperti yang disyaratakan dalam Perda Kota Semarang No.14/2011 tentang RTRW tersebut.

Padahal, lanjutnya rumah sederhana sesuai aturan Kemenpera, hanya boleh dijual dengan harga maksimal Rp88 juta, dengan luasan lahan tidak mungkin lebih dari 120 meter persegi.

“Bayangkan kerugian yang bisa timbul, jika ratusan unit rumah tersebut benar-benar tidak bisa terjual, tinggal kalikan saja dengan minimal Rp88 juta, belum lagi saat ini juga masih terdapat sekitar 700 kapling tanah untuk rumah sederhana yang belum bisa dikembangkan disana,” tuturnya.

Menurutnya, selain berdampak pada pengembang yang bakal merasakan kerugian juga berimbas pada semakin sulitnya MBR dalam mendapatkan rumah sederhana, sehingga angka backlog saat ini yang mencapai sekitar 300.000 unit akan semakin sulit terkejar.

Wakil Ketua Bidang Promosi Publikasi dan Kehumasan DPD REI Jateng, Dibya K. Hidayat mengharapkan permasalahan yang dialami rekan-rekannya tersebut dapat dicarikan solusi terbaik.

“Karena kami tidak akan mungkin membangun rumah dengan sengaja melanggar perda, apalagi perda RTRW. Karena itu merupakan pelanggaran berat dengan ancaman juga sangat berat,” tuturnya.

Menurutnya, sebagai pengembang selain menjalankan bisnis yang berorientasi profit, namun sisi lainnya juga ingin membantu MBR dalam pemenuhan kebutuhan rumah sederhana mereka.

Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Semarang, Agung Budi Margono membenarkan tentang aturan dalam perda RT RW itu, yang menyebutkan luasan kapling minimal pendirian rumah yang bisa dibangun disana minimal 120 meter persegi.

“Aturan itu dimaksudkan untuk mengendalikan kawasan tersebut agar tidak menjadi pemukiman padat yg berbahaya bagi resapan air, karena tiga kawasan itu memang disiapkan untuk daerah resapan air,” tuturnya. 

Sumber : Bisnis-Jateng

 


Comments




Leave a Reply