
Data Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menyebutkan, dari 33 provinsi, baru 14 provinsi yang telah memiliki peraturan daerah (Perda) RTRWP. Masih ada 19 provinsi yang kebanyakan di luar Pulau Jawa, yang belum memiliki perda yang seharusnya sudah kelar sejak 2009 silam.
Direktur Jenderal (Dirjen) Penataan Ruang Kementerian PU, Imam S. Ernawi, menyebut, salah satu kendala yang dihadapi beberapa pemerintah provinsi adalah mengoneksikan tata ruang dengan kawasan hutan yang ada di wilayahnya.
Pangkal persoalannya, ada perubahan fungsi dan peruntukan hutan yang butuh persetujuan dari Kementerian Perhutanan (Kemhut). "Terutama di Kalimantan. Atas usulan dari gubernur dan bupati, ada perubahan fungsi yang cukup besar dari luas kawasan hutan yang ada," kata Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemhut pada KONTAN, Jumat (25/1).
Kemhut telah membentuk tim terpadu (Timdu) untuk memetakan kembali kawasan hutan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Susahnya, proses ini cukup lama. "Tapi, kami tetap menjadikan ini sebagai prioritas tahun ini," ujar Hadi.
Meski imbas dari proses penetapan kawasan hutan yang lama ini membuat beberapa provinsi belum memiliki perda RTRWP, Hadi enggan disebut sebagai penghambat. Sebab, pada prinsipnya, pemerintah ingin agar kawasan hutan ditetapkan secara tepat dan tak ada kekeliruan lagi dalam Perda RTRWP yang dibuat Pemprov.
Sekedar informasi, Undang-Undang No. 26/ 2007 tentang Penataan Ruang, menyebutkan bahwa dalam waktu dua tahun sejak pemberlakuan UU ini atau tahun 2009, semua provinsi diharuskan merampungkan RTRWP dalam bentuk Perda.
Memicu konflik
Dampak penetapan Perda RTRWP di beberapa provinsi yang lambat menimbulkan ketidakpastian dalam bisnis perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Sebab, tanpa aturan yang jelas, sering terjadi konflik horisontal antara pelaku usaha, masyarakat, dan pemerintah daerah. Mereka saling klaim secara sepihak penggunaan lahan.
Purwadi, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), menyebutkan, secara bisnis, belum adanya Perda RTRWP ini menjadi ganjalan serius lantaran tidak ada kepastian usaha di wilayah tersebut.
Dari sisi perizinan, selama ini pengusaha sektor kehutanan relatif tak menemui masalah. Tapi, ketidakjelasan perizinan bisa menjadi masalah di kemudian hari. Sebab, "Yang seringkali diincar pemerindah provinsi untuk dialihfungsikan adalah hutan lindung dan yang jelas-jelas dilarang. Tapi, dalam beberapa kasus, ada juga yang mengonversi hutan produksi," ujar Purwadi.
Karena itu, pengusaha kehutanan mendukung upaya pemerintah mengerem upaya perambahan yang ingin dilegalkan ini dengan menetapkan kawasan hutan. Sebab, dengan penyamaan persepsi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, kerugian yang ditimbulkan bisa jauh lebih sedikit.
Sumber : Kontan