
Batang (ANTARA News) - Sasnoto (42), merupakan satu dari warga Desa Ponowareng, Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang resah saat mengetahui desa kelahirannya akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Desa Ponowareng, termasuk dari lima Desa di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, yang lahannya akan terkena proyek PLTU terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 2x1000 MW. Keempat desa lainnya yakni Roban, Ujung Negoro, Wonorekso, dan Ponowareng.
Ketakutan pun menyelimuti pikirannya dan warga di desanya. Mega proyek yang rencananya akan memakan lahan 370 hingga 700 hektar itu otomatis memaksa mereka menyingkir dan akhirnya, kehilangan mata pencaharian.
Dan masih sejuta pertanyaan lain yang belum dipahami penduduk, yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan itu, mengenai PLTU dan dampaknya.
Lalu, ia bersama 51 warga Desa Ponowareng nekat melakukan investigasi sendiri dengan mendatangi kawasan sekitar PLTU Cilacap, Jawa Tengah, pada Jumat (8/3) lalu. Dengan menggunakan bis, mereka bermaksud mencari tahu langsung dampak apa yang dirasakan masyarakat di sana.
"Sampai di sana kami berpencar. Masing-masing mencari tahu dampak dari adanya PLTU," kata pria yang sehari-hari berprofesi sebagai petani itu kepada ANTARA News, di Desa Karanggeneng, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Dari percakapannya dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan PLTU Cilacap, ia mendapati bahwa dampak pembakaran batu bara menyebabkan masyarakat terkena penyakit terutama yang berhubungan dengan pernafasan.
Ia menambahkan masyarakat Cilacap kehilangan mata pencaharian akibat penggusuran lahan untuk lokasi PLTU.
"Awalnya mereka dijanjikan pekerjaan, tapi ternyata itu hanya bertahan satu tahun lalu diganti pekerja dari China," ujarnya.
Menurut cerita masyarakat sekitar PLTU Cilacap, lanjutnya, asap motor mereka juga berasap hitam pekat.
Kenekatan Sasnoto "berkunjung" ke kawasan sekitar PLTU Cilacap yang berkapasitas 2x330 Mega Watt itu membulatkan keputusannya untuk menolak kehadiran PLTU di lahan desanya yang akan berkapasitas jauh lebih besar.
"Pokoknya saya menolak," katanya.
Berbagai polemik
Sasnoto tidak sendiri. Sebagian besar masyarakat dari lima desa Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang, Jawa Tengah mengkhawatirkan pembangunan PLTU yang rencananya dibangun di desa mereka berdasarkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Batang No. 07 tahun 2011.
Berbagai penolakan yang muncul dari masyarakat disebabkan karena pembangunan PLTU yang akan menelan dana sekitar 30 triliun itu dikhawatirkan dapat mengancam ketahanan pangan daerah.
Pembangunan proyek PLTU meliputi wilayah Desa Ujung Negoro hingga Roban sepanjang 7 km di pastikan akan memakan areal persawahan dengan irigasi teknis seluas 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar Desa Karanggeneng serta sawah tadah hujan seluas 152 ha di Desa Ujung Negoro.
Sedangkan masyarakat di sana sebagian besar hidupnya bergantung dari lahan pertanian yang akan dijadikan pembangunan PLTU Batang.
"Saya bingung nanti pindah kemana, terus kerja apa. Orangtua di sini pada nangis mikir nasib cucunya nanti gimana," kata salah satu warga Desa Karanggeneng, Juminah (39), yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu.
Ibu dua anak itu mengaku akan tetap bertahan meskipun dari PT Bhima Sena selaku pengembang proyek sekarang ini sudah melakukan sosialisasi baik Ditingkat kabupaten, kecamatan, bahkan sudah ke masyarakat sekitar yang lahanya akan terkena proyek PLTU. Mereka menjanjikan PLTU yang dibangun memiliki teknologi USC (Ultra Super Critical), yang disebut-sebut ramah lingkungan serta menjanjikan pekerjaan untuk 5000 penduduk.
"Saya tidak percaya. Saya akan kehilangan kenangan, segala-galanya," tambahnya.
Sementara itu, menurut Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Tengah, lokasi terpilih di Karanggeneng dinilai tak sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) nasional, RTRW Jawa tengah, dan RTRW Kabupaten Batang, tempat pembangunan PLTU berada pada kawasan laut.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008 tentang RTRW Nasional, telah ditetapkan Taman Wisata Alam Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban sebagai kawasan lindung. Begitu pula Perda Jateng Nomor 6/2010 tentang RTRW Jateng Tahun 2009- 2029 yang menetapkan Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban di Kabupaten Batang sebagai Taman Wisata Alam Laut.
Selanjutnya, diatur dalam pasal 36 ayat 3 Perda Kabupaten Batang Nomor 07/2011 tentang RTRW Kabupaten Batang Tahun 2011-2031, di mana Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKPD) Pantai Ujungnegoro-Roban dengan luas 6.897,75 hektar merupakan kawasan perlindungan terumbu karang. Namun, dalam perkembangannya, muncul keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011 tanggal 19 September 2011 yang dibuat untuk mengubah Keputusan Bupati Batang Nomor 523/283/2005.
Mengenai perubahan peraturan tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang bersedia memberikan bantuan hukum kepada masyarakat Batang, terutama terkait dengan isu lingkungan dan jika terjadi kriminalisasi karena pro kontra masyarakat.
"Kalau mau revisi peraturan keputusan Bupati itu seharusnya menunggu lima tahun dahulu. Kami akan dalami tentang ini. Saat ini informasi yang kami miliki masih sangat terbatas," kata Direktur LBH Semarang, Slamet Haryanto, di kantor LBH semarang, Jumat.
Pindah Lokasi
Sementara itu, BLH Jawa Tengah menyarankan agar pembangunan mega proyek PLTU Batang pindah lokasi dari Desa Karanggeneng, Kecamatan Kandeman menjadi ke Tanjung Celong, Desa Kedawung, Kecamatan Subah.
Selain telah disurvei investor sebagai lokasi alternatif kedua, data PLN juga menyebutkan Tanjung Celong memiliki skor tertinggi terhadap perubahan aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi.
Namun, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Greenpeace menilai pemindahan lokasi PLTU tidak menyelesaikan masalah. Mereka menuntut agar pemerintah membatalkan pembangunan PLTU terbesar di Asia Tenggara itu.
"Tuntutan kita kepada pemerintah untuk menghentikan ketergantungan kita terhadap bahan bakar fosil yang sangat kotor ini," kata Jurukampanye Iklim dan Energi, Arif Fiyanto, Jumat.
Menurutnya, jika pemerintah terus melanjutkan pembangunan PLTU, otomatis komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi sampai 26 persen pada tahun 2020 tidak akan terwujud.
"Sebaiknya pemerintah memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan," tambhanya.
Maka yang menjadi pertanyaan adalah, apakah rencana pemerintah dalam mengejar pasokan listrik 10.000 Mega Watt untuk menyediakan listrik bagi 35 persen Warga Indonesia yang belum mendapatkan listrik harus mengorbankan ribuan penduduk di Kabupaten Batang?
Sumber : AntaraNews.Com