
Kehadiran pedagang kaki lima di kota-kota besar, termasuk Ibu kota Jakarta, selalu menimbulkan masalah. Tak hanya bagi pemerintah setempat, tapi juga bagi masyarakat umum. Maklum, mereka kerap beroperasi secara sembarangan di tempat-tempat strategis tanpa mengindahkan aturan yang ada maupun kepentingan umum. Mereka kadang menjajakan barang dagangan seenaknya di trotoar-trotoar, taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan hingga bahu jalan.
Selain menganggu kelancaran arus lalu lintas, kehadiran pedagang kaki lima juga dianggap menganggu kenyamanan warga. Belum lagi kehadirannya kadang mengganggu pemandangan dan menimbulkan kesan kumuh. Makanya, penertiban terhadap pedagang kaki lima terus dilakukan oleh pemerintah setempat. Bahkan, upaya penertiban tersebut berunjung dengan adu fisik antara pedagang dengan petugas Satpol PP.
Tapi dasar pedagang kaki lima, mereka umumnya memiliki mental baja dan daya juang seliat kawat beton. Setiap habis “dibasmi”, dalam hitungan hari mereka sudah kembali berjualan di tempat-trempat strategis. Bahkan mungkin jumlahnya akan lebih banyak lagi. Jadi, jangan heran bila pedagang kaki lima telah menjadi musuh abadi Satpol PP, sejak zaman pemerintahan Orde Baru hingga masa reformasi sekarang.
Kita tidak boleh menutup mata, kehadiran pedagang kaki lima di kota-kota besar adalah semata untuk mengais kehidupan. Di tengah situasi sulit seperti sekarang, di saat lapangan kerja semakin terbatas, menjadi pedagang kaki lima adalah pilihan yang bijak bagi sebagian orang. Paling tidak, selain mampu menghidupi keluarganya, mereka juga tidak menjadi beban negara. Karena itu, melarang pedagang kaki lima berjualan sama artinya dengan mematikan penghasilan seseorang. Dan ini bertentangan dengan UUD 45 yang menjamin penghidupan warga Indonesia.
Masalahnya, ya itu tadi, ulah pedagang kaki lima dianggap sudah keterlaluan. Karena yang berulah ini jumlahnya tidak sedikit, maka upaya penertiban pedagang kaki lima pun jarang yang berhasil. Joko Widodo (Jokowi), Walikota Solo, mungkin termasuk yang sukses mengatasi masalah pedagang kaki lima. Nah, kesuksesan itu pula yang akan diterapkan Jokowi di Jakarta bila ia terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Tapi ingat, Solo bukan Jakarta. Ibarat bumi dan langit, begitulah kira-kira. Di Solo, mungkin, jumlah pedagang kakilima sedikit dan mudah diatur atau diajak berdialog. Tapi di Jakarta lebih kompleks dan jumlahnya diperkirakan sudah mencapai 500 ribu orang. Makanya banyak yang tersenyum ketika Jokowi berjanji tak ada lagi pedagang kaki lima yang bakal kena pentung pertugas Satpol PP. Apalagi Jokowi pun berniat mengajak mereka berjualan di mal-mal dan tempat strategis. “Rasanya kok di awang-awang. Lebai, kata anak sekarang,” ujar Nirwono Yoga, Pakar Tata Kota.
Untuk mengatasi pedagang kaki lima, Nirwono mengusulkan agar lokasi untuk pedagang kaki lima diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Misalnya, daerah strategis mana saja yang boleh atau tidak untuk pedagang kaki lima. Mereka harus diatur dan tidak sembarangan berjualan hingga ke bahu jalan yang dapat mengganggu lalulintas kendaraan bermotor dan pejalan kaki. “Ingat lho, pedagang kaki lima itu warganegara yang harus dilindungi. Itu sektor informal yang berhak hidup layak,” kata Nirwono.
Nah, jika daerah untuk pedagang kaki lima sudah ditentukan, Pemprov DKI jangan lagi memberi kompensasi kepada pedagang kaki lima untuk memanfaatkan lokasi strategis secara sembarangan. Pemprov DKI, menurut Nirwono, sejak awal harus tegas mengawasi pedagang kaki lima. Jika tidak, maka RTW tidak ada gunanya, dan persoalan pedagang kaki lima akan kembali menjadi masalah di DKI Jakarta. Siapapun Gubernurnya nanti.
Sekedar mengingat, setelah melalui pembahasan selama dua tahun, Agustus 2011 DPRD DKI dan Pemprov DKI Jakarta telah mensyahkan RTRW Jakarta 2030. Saat ini DPRD dan Pemprov DKI tengah menysun aturan turunnya berupa Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Nirwono mengusulkan, Gubernur DKI terpilih nanti mensosialisasikan rencana Kota Jakarta sampai 2030. “Mereka juga harus diberi kesempatan memberi masukan,” katanya.
Singkat kata, RTRW Jakarta 2030 kelak akan menjadi buku acuan bagi pemerintah dan penduduk Jakarta. Tapi, RTRW saja tidak cukup. Karena itu perlu ada peraturan lainnya. Seperti batas waktu operasional pedagang kaki lima, tempat parkir, keamana, dan lain sebagainya. Dengan aturan main yang semakin jelas, Nirwono optimis kota Jakarta akan lebih teratur dan lebih manusiawi.
Ia juga mengusulkan agar Pemprov DKI menyediakan lokasi khusus buat pedagang kaki lima yang lokasinya berdekatan dengan pusat kegiatan bisnis seperti perkantoran atau pusat belanja. “Area khususnya ini dikelola secara profesional. Tidak seperti sekarang, PKL bisa dagang dimana saja. Tidak heran bila pedagang kaki lima kerap ke pembersihan Tantib dan Satpol PP,” katanya.
Lantas, bagaimana dengan janji-janji manis yang dilontarkan calon Gubernur DKI Jakarta? Tentu harus sesuai dengan aturan yang ada. Soalnya, jika gubernur terpilih membuat aturan baru, entah kapan Jakarta akan tertib. Jadi, menurut Nirwono, Gubernur DKI terpilih harus mengikuti RTRW 2030 yang susun oleh Gubernur Fauzi Bowo. ”Wajib hukumnya, dah,” kata Nirwono.
Sumber : Inilah.Com