
Sayangnya meski mengganggu estetika kota, pemerintah sulit cawe-cawe--minimal untuk mempercantik keberadaannya--karena tak ada aturan terkait lahan telantar milik pribadi di tengah kota.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pun mengusulkan agar ada denda dan sanksi bagi pemilik lahan dan gedung mangkrak. Sebab keberadaannya bak memberikan rapor merah pembangunan kota. Investor dikhawatirkan berasumsi, pembangunan fisik Kota Pahlawan lambat, sehingga investasi swasta ngadat.
“Jadi kalau tanah telantar dan gedung mangkrak di kota Surabaya dibiarkan begitu saja sepanjang tahun dan bahkan puluhan tahun, maka Surabaya kehilangan potensi pertumbuhan ekonomi sebesar 5% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),” ungkap Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Surabaya, dr Jamhadi, Minggu (17/3).
Hasil perhitungan Kadin Surabaya, PDRB Surabaya saat ini nilainya sekitar Rp 205 triliun. Artinya, 5%-nya adalah sekitar Rp 10,25 triliun. Potensi kehilangan ini berasal dari pajak, retribusi hingga penyediaan lapangan pekerjaan.
Menurutnyaangka Rp 10,25 triliun itu setara dengan 1,2% pertumbuhan ekonomi Surabaya. Jadi kalau target pertumbunan ekonomi Surabaya sebesar 7,5%, maka 1,2% pertumbuhan ekonomi Surabaya telah hilang karenanya. “Ini tentu sangat patut disayangkan banyak pihak,” katanya.
Hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi akibatnya adanya tanah telantar dan gedung mangkrak tersebut, lanjutnya, sebenarnya bisa lebih dari Rp 10,25 triliun. Sebab, kalau dilihat secara rinci hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi itu baru dari sektor pajak dan retribusi saja. Sementara, potensi dari terserapnya tenaga kerja, hasil perdagangan atau usaha dari pemanfaatan gedung dan lahan kosong juga besar nilainya.
Kadin Surabaya menilai Pemkot Surabaya ikut andil membiarkan lahan kososng tak produktif. Sebab, Pemkot belum memiliki peraturan daerah (Perda) tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang pasti. Untuk diketahui, revisi perda RTRW No.3/2003 sampai sekarang belum kelar akibat tarik ulurnya jalan bebas hambatan atau jalan tol tengah kota.
Pihak pemilik lahan kosong masih banyak yang berfikir dua kali bila akan membangun atau membuat tempat usaha di tanahnya yang kini masih kosong. Sebab, Perda RTRW Surabaya yang baru belum jelas kepastiannya.
“Itu yang saya dengar dari sejumlah pengusaha. Alasannya, ya, kalau lahannya masuk kawasan perdagangan dan perkantoran. Lha, kalau masuk kawasan permukiman atau kena jalan tol atau kena jalur monorel, kan, mereka rugi. Akhirnya, mereka ada yang menunggu sampai ada kepastian soal perda RTRW tersebut,” jelas dia.
Di sisi lain, patokan tanah telantar sendiri masih taidak jelas atau debatable. “Telantar menurut siapa. Sebab, definisi tanah telantar di peraturan pemerintah (PP) No. 11/2010 tentang tanah telantar kebanyakan untuk pertanian yang nganggur. Tujuannya, agar tanah pertanian yang menganggur dimanfaatkan. Sedangkan, untuk tanah telantar di perkotaan tidak disebutkan dalam PP tersebut,” katanya.
Ungkapan serupa disampaikan Erwanto Limantoro anggota komisi A DPRD Surabaya. Banyaknya, tanah telantar dan gedung mangkrak membuat kota Surabaya kehilangan banyak potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Mulai tidak terserapnya tenaga kerja, tidak adanya penarikan pajak dan retribusi izin mendirikan bangunan (IMB), tidak terciptanya estetika kota dan lainnya. Dari tidak adanya penarikan pajak dan retribusi IMB atas tanah telantar itu saja Surabaya bisa mengalami kerugian sekitar Rp 20 miliar per tahun.
“Saya melihat ada tanah telantar dan sebagaian gedung mangrak di pusat kota Surabaya sudah ada yang dilanjutkan pembangunannya. Namun, yang masih mangkrak bertahun-tahun juga masih banyak pula,” ungkapnya.
Menurutnya, hasil pengamatannya tanah telantar di kota ini di antaranya di Jl. Tunjungan-Jl. Kenari, sebidang tanah Jl Mayjen Sungkono sisi barat gedung juang ‘45, Jl. Ngagel eks PT Bosma Bisma Indra (BBI), Jl. A Yani eks perumahan bank di sisi utara gedung Graha Pangeran, dan lainnya.
Sedangkan gedung mangrak memang sudah ada yang dilanjutkan pembangunannya di antaranya eks gedung hotel Ramayana di Jl. Basuki Rachmad dan bangunan di depan Siola yang konon akan dijadikan hotel. Selain itu gedung mangrak di samping gedung eks Bank Industri di Jl. Basuki Rachmad.
Namun, bangunan mangkrak yang sampai sekarang masih tetap mangkrak dan belum tersentuh pembangunan ulang di antaranya ada di Jl. Ngagel. Bangunan mangrak di sana ada dua, yang satu bernama Adistana dan yang lain rencana pembangunan Trade Centre Mall (TCM). Bangunan Adistana sudah mangkrak sejak sekitar 25 tahun silam, sedangkan gedung TCM mangkrak sejak awal 2002-an.
Selain itu, bangunan gedung di Jl. Embong Malang. Bangunan di sisi barat UFO itu sudah mangkrak sejak 1990-an. Sayangnya, hingga kini gedung itu belum ada perbaikan ulang. Padahal, bangunan gedung itu persis di jatung kota Surabaya. “Itu yang kami lihat,” jelasnya.
Terkait dengan ini juga ada gedung mangkrak yang konon gedung cagar budaya. Gedung itua dalah gedung eks bioskop Indra di Jl. Gubernur Suryo sisi timur. Gedung itu kini tak terawat. Ironisnya gedung itu juga di pusat kota dan dekat gedung negara Grahadi.
Menurutnya, para pemilik juga mesti dikenai pajak berlipat jika bangunan miliknya dibiarkan mangkrak. Bahkan, seharusnya ada perjanjian jelas yang mengikat antara Pemkot dan pemiliknya.
“Kalau dilihat, rasanya kurang tepat sebuah kota sebesar Surabaya memiliki banyak bangunan kumuh alias mangkrak. Sebab, selain merusak estetika kota juga keamanan di sekitar sana juga jadi tidak terjamin. Di sisi lain, jika bangunan itu sudah jadi, akan membangkitkan ekonomi kota, tentunya,” terang Sudirjo.
Sementara itu, anggota Komisi C (bidang pembangunan) DPRD Kota Surabaya, Agus Santoso menjelaskan, untuk memecahkan problem itu diperlukan regulasi yang jelas dan mengikat. Jadi, butuh aturan baik dari sisi investasi maupun denda yang dikenakan. “Biar pengusaha itu tidak seenaknya menelantarkan bangunan seperti itu,” ungkapnya.
Sementara Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang sudah memberikan toleransi pada pemilik bangunan mangkrak di pusat kota mengaku sudah menegur pemiliknya. Pemkot kini menarget akan melakukan pembongkaran bangunan mangkrak yang ada di pusat kota.
Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Agus Sonhaji mengatakan, gedung mangkrak memang menganggu estetika kota. Apalagi, sudah ada yang sekitar 20 tahun tidak terurus.
Mantan Kabag Bina Program itu melanjutkan, bangunan mangkrak yang disorot Pemkot berada di Jl. Ngagel, Basuki Rrachmad, dan Embong Malang. Pihaknya akan berkerjasama dengan Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) untuk membahas persoalan ini secara khusus.
Menurutnya, untuk pencarian jalan keluarnya, pihaknya akan memanggil para pemilik gedung tersebut dan mempertanyakan masalahnya. Selama persoalan berada di kewenangan Pemkot untuk mengatasi, Pemkot akan ambil alih. Kalau memang persoalannya tentang perizinan, Pemkot bakal mempermudah. Tapi, kalau ada yang tidak memiliki IMB bangunannya akan dibongkar.
Terkait dengan ini Wakil Walikota Surabaya Bambang DH mengatakan, sejak dirinya menjabat sebagai walikota pihaknya sudah mengubungi pemiliknya masing-masing. Hasilnya, jawaban pemiliknya ada yang tidak bisa melanjutkan pembangunannya karena kesulitan modal dan ada pula yang karena masalah keluarga. “Tapi, kami sudah menegurnya, kok,” jelas dia.
Sumber : SurabayaPost