Dengan fakta ini pembahasan Raperda RTRW untuk disahkan menjadi Perda bakal gagal untuk kelai kedua. Sebab, pertangahan 2011 lalu sudah pernah diajukan ke dewan untuk dibahas tapi gagal disahkan.
Penyebabnya, hanya karena masih ada tarik ulur tol Waru-Wonokromo-Perak. Pemkot tidak sepakat ada tol Waru-Wonokromo-Perak, sehingga persetujuan pusat dan gubernur Jatim tidak turun. Padahal, saat dengar pendapat Panitia Khusus (Pansus) RTRW, sejumlah pakar menegaskan jika Surabaya butuh tol tengah.
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini menegaskan saat ini pihaknnya akan membangun jalan lingkar luar timur dan barat yang saling berhubungan. Menurutnya, kedua jalan tersebut tentunya sudah cukup sebagai pengganti tol. Apalagi, sekarang juga akan ada jalan Middle East Ring Road (MERR) IIC dan jalan frontage road (FR) di Jl.Ahmad Yani.
”Tol itu jalan, apa bedanya dengan jalan biasa. Bedanya cuma berbayar dan tidak. Sebetulnya sama saja kan. Kalalu hanya untuk menghubungkan selatan-utara kenapa harus jalan tol,” kata Risma, panggilan akrab Tri Rismaharini.
Menurutnya, jalan aternatif itu yang akan dibuat Pemkot. Jadi, kenapa lewat jalan saja harus bayar. Ini tentunya juga bisa meringankan masyarakat, sedangkan jalan tol justru membebani masyarakat.
Sebagai kepala daerah, Risma berharap bisa seefisian mungkin dalam meminimalisir biaya ongkos perjalanan yang ditanggung masyarakat. Jika itu dilakukan, maka kota akan lancar dan biaya perjalanan bagi warga kota itu bisa berkurang dan akhirnya produk barang menjadi murah. “Itu kan kota yang efisien,” katanya.
Meski tol tersebut tidak dibangun di tengah kota, melainkan dibangun di wilayah timur, Risma tetap ngotot bahwa tol itu tidak perlu lagi di Surabaya. Dia mencontohkan, salah satu dampak dari perjalanan harus berbayar dengan lewat tol adalah kejadian kecelakaan yang ada di Jl. Ahmad Yani beberapa waktu lalu.
“Kenapa kecalakaan itu bisa terjadi, semua itu karena biaya tol dibebankan kepada sopir, sehingga supir tidak mampu membayar dan akhirnya kontainernya dilewatkan jalan biasa bukan tol dan terguling hingga membuat macet dan hilangnya nyawa orang lain,” katanya.
Sementara itu menurutnya, seharusnya dalam pembahasan RTRW yang kini dibahas di DPRD Surabaya tidak cukup hanya mengundang pakar panologi atau perencanaan wilayah dan kota saja, tapi juga pakar transportasi. “Mohon maaf tata ruang kota yang ada selama ini sudah tidak sesuai perkembangan zaman,” katanya.
Risma menjelaskan RTRW yang ada selama ini hanya membuat pemetaan kalau daerah ini masuk kawasan tertentu seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa. Padahal perencanaan kota harus lengkap beserta sistem pengelolaan utilitasnya.
”Bisa saja, dalam satu gedung pada lantai atas digunakan sebagai tempat perkantoran dan di bawahnya digunakan perdagangan. Ini tuntutan zaman sekarang dan ini beda dengan yang lama,” katanya.
Karena itu, lanjut dia, konsep tata ruang kota harus disesuaikan perkembangan zaman yang ada. Pemkot Surabaya selama ini telah membuka kawasan-kawasan lain seperti di barat dan timur dengan tujuan agar karemaian tidak terpusat di pusat kota.
Sedangkan, Wakil Ketua Komisi C DPRD Surabaya Simon Lekatompessy mengatakan, kalau Pemkot tetap menolak tol Waru-Perak, maka itu bukti Pemkot tidak cerdas dalam membangun kotanya. Karena dia tidak konsisten dengan adanya program pembangunan jalan tol tengah yang sebelumnya masuk dalam Perda RTRW 3/2007. Tapi, kini malah Pemkot tak punya perda RTRW karena RTRW lama itu sudah diajukan untuk direvisi ke Provinsi dan pusat.
“Jalan tol Waru-Perak sangat dibutuhkan pengusaha atau pelaku ekonomi di kota ini, tapi kok malah dilarang dibangun. Kan itu namanya Pemkot tidak cerdas. Sehinnga kami patut mempertanyakannya. Jika dulu Pemkot meloloskan tol tengah kota di dalam RTRW-nya, tapi kenapa sekarang ditolak? Padahal sudah ada investor yang siap bangun kota ini dengan uangnya sendir,” katanya.
Sumber : SurabayaPostOnline