
Secara umum, Indonesia ini adalah wilayah yang sangat bervariasi. Ada wilayah dengan geografi pegunungan, tanah rawa dengan berbagai spesifikasi, ada wilayah padang alovial, dan kawasan gundul. Demikian pula pada sektor penduduk yang mendiami, pun berada pada tingkat prularisme yang sangat tinggi pula.
Itulah sebabnya, secara nasional penataan kawasan yang didasarkan pada bagaimana menciptakan tata ruang yang terintegrasi tidak pernah final. Jangankan secara nasional, pada wilayah administratif provinsi dan kabupaten kota saja masih sulit diwujudkan.
Sebagai dasar pemahaman umum, bahwa hingga saat ini penataan ruang Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Kotawaringin Timur khususnya, susunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) belum disahkan. Berbagai permasalahan yang secara lokal menggelayut, menjadikan tindak lanjut dari pembangunan yang berorientasi kepada RTRW itu terkendala.
Permasalahannya, pada kawasan yang tidak jelas itu, berdasarkan kebutuhan praktis dari penduduk bisa saja didirikan berbagai bangunan yang dipergunakan berbagai aktivitas. Tentu orientasinya adalah pengembangan ekonomi. Padahal kawasan yang dibangun itu berdasarkan RTRW bisa berbeda peruntukannya. Kalau sudah demikian, maka akan menjadi permasalahan yang tidak ada ujungnya di kemudian hari.
Pada sektor kehutanan misalnya, kawasan yang selama ini menjadi mind set untuk Kotawaringin Timur, belum juga disahkan oleh Menteri Kehutanan. Mencermati permasalahan administratif yang mengemuka adalah bahwa masih belum ada sinkronisasi di antara RTRWP Provinsi/Kabupaten/Kota dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Hal ini secara teknis terjadi karena ketidaksesuaian antara rancangan penggunaan sektor lain yang sesuai dengan RTRWK pada satu sisi dengan peruntukan fungsi hutan sesuai TGHK (peta kawasan hutan) pada sisi lain.
Sejatinya, untuk TGHK ini sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh Menteri Pertanian, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 137/Kpts-II/1986. SK ini kemudian menjadi dasar bagi Menteri Kehutanan untuk melakukan penataan ruang di sektor kehutanan di Kotim. Namun karena adanya perubahan secar fisik pada kawasan hutan akibat penjarahan, salah peruntukan dan seterusnya menyebabkan TGHK sudah tidak sesuai lagi dengan dengan kenyataan.
Berdasarkan hal di atas, mutlak perlunya dilakukanlah perubahan terhadap TGHK yang ada berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan tersebut. Di sinilah permasalahannya, karena sampai sekarang kawasan hutan kita belum memiliki kawasan penunjukan hutan. Tentu saja akibat berikutnya, waktu tidak bisa berhenti atau dihentikan. Aktivitas eksploitasi hutan yang harusnya berpedoman kepada arahan penunjukan itu menjadi kehilangan orientasi.
Akibat Pada RTRWK
Ibarat aliran air, maka ke hilirnya sebagai dampak dari tidak adanya penataan ruang sektor kehutanan berakibat pada lambatnya penyelesaian RTRWK (Rencana tata Ruang Wilayah Kehutanan). Sejatinya pedoman untuk penyusunan RRWK di Kotim, yang merujuk pada nafas desentralisasi sudah ada. Yaitu Perda Nomor: 08 Tahun 2003, tertanggal 29 September 2003.
Atas dasar Perda tersebut, ditindaklanjuti dengan revisi yang mengacu pada SK. Menhut Nomor: 529/Menhut/II2012, tanggal 25 September 2012. Pada RTRW yang disusun pada tahun 2003 dan berlaku sampai tahun 2015 tersebut, terdapat perbedaan dengan TGHK yang ada dan paduserasi antara RTRWP 2003-2015 dengan TGHK. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan arahan fungsi dan pemanfaatan kawasan. Mengapa hal ini terjadi, tidak lain penyebabnya adalah tidak adanya arahan atau bahkan dasar hukum yang pasti tentang peruntukan kawasan
Lebih detilnya, bahwa di dalam TGHK kawasan hutan dibedakan menjadi lima yaitu:
- kawasan hutan produksi tetap;
- hutan produksi terbatas;
- hutan konversi;
- hutan lindung dan
- hutan konservasi.
Nah, di dalam RTRWP dibedakan menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung termasuk kawasan pelestarian alam, kawasan hutan suaka alam. Sementara budidaya meliputi kawasan hutan produksi, perkebunan, industri, pariwisata, dan pemukiman. Hal ini belum lagi jika dimasukkan faktor lain, bahwa permasalahan RTRWP itu juga terkait dengan penataan ruang sektor kehutanan. Apakah itu? Tidak lain adalah masalah klasik berupa pelanggaran pemanfaatan kawasan hutan oleh perkebunan, pertambangan, dan pemukiman di kawasan hutan produksi dan hutan konservasi. Hal ini sebenarnya tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena mobilitas ekonomi masyarakat memang menghendaki. Sementara peruntukan kawasan masih tidak jelas.
Sebagai tambahan, bahwa sebenarnya untuk mengakomodasi kebutuhan lahan dan menangani tumpang tindih kawasan, Menteri Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, berdasarkan PP No. 10 Tahun 2010. Namun itu memang untuk nasional, yang ketika diterapkan di daerah muncul permasalahan yang tidak sama antara satu wilayah dengan wilayah lain.
Perubahan Peruntukan
Sebagai referensi, bahwa sebenarnya tidak diharamkan mengadakan perubahan tentang peruntukan kawasan, asalkan tidak ekstrem. Ukuran ekstrem atau tidak, memang relative. Pada akhirnya akan tegantung pada bagaimana policy yang didasarkan pada diskresi yang cerdas dan tanpa pretense negatif dari pejabat penentu kebijakan.
Dipahami bahwa pada dasarnya perubahan kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Hal ini dapat dilakukan secara parsial dan secara administratif berada atau untuk wilayah provinsi. Perubahan secara parsial ini dapat dilakukan secara teknis dengan cara tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan. Hal ini merupakan cara paling praktis dan tidak menyalahi aturan. Ini contoh perubahan yang tidak ekstrem.
Dalam pandangan Dodik Ridho Nurrochmat, adanya permasalahan tumpang tindih lahan dalam penataan ruang pada sektor kehutanan itu diakibatkan bias wilayah administrasi. Bahwa selama ini basis dalam penataan ruang berbasis pada ruang wilayah administratif didasarkan pada aturan tentang luas minimum kawasan hutan dalam suatu wilayah administratif kabupaten atau provinsi. Konkretnya sebesar 30 persen dari luas wilayahnya.
Dengan demikian harusnya penataan ruang, termasuk penataan ruang kehutanan dilakukan berdasarkan keterkaitan fungsional wilayah. Konkretnya adalah kawasan yang berfungsi sebagi penyangga ekosistim (biorregion), yaitu kawasan pesisir dengan hutan bakau, kawasan pegunungan dengan kekayaan biodiversitas, kawasan daerah aliran sungai (DAS) dan kawasan yang memiliki keterkaitan fungsional lainnya.
Sehubungan dengan itu, kebutuhan mendesaknya adalah dilakukannya koordinasi pada level pemerintahan baik secara vertikal maupun horisontal. Koordinasi untuk menentukan pengawasan dan pemanfaatan kawasan, serta koordinasi penyelesaian masalah atau solusi konflik, atas permasalahan yang muncul sebagai konsekuensi dari pelaksanaan.
Di samping bias wilayah administrasi juga adalah bias antar sektor. Bahwa mekanisme penataan ruang selama ini sangat bias kepentingan sektoral terutama dalam era pemerintahan masa lalu yang sentralistik dan vertikal. Walaupun terjadi pergeseran arah kebijakan pembangunan menjadi desentralisasi dan euphoria otonomi daerah, produk rencana tata ruang sering kali berada dalam kedudukan yang lemah bila dibandingkankan dengan kepentingan sektor yang dibijaksanai Pusat.
Hal ini pada gilirannya memunculkan konflik yang sulit dicarikan solusinya. Perbedaan kepentingan dan orientasi dasar antara kepentingan pusat dan daerah merupakan masalah klasik yang menjadi penghambat pencapaian solusi di semua sektor. Namun bukan berarti pesimis, bagaimanapun harus senantiasa dicarikan solusinya dengan itikad yang lebih jernih yaitu kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dijauhkan ego sektoral dalam pencarian sulusi tersebut.
Sumber : RadarSampit