
JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mensinyalir inkonsistensi pemanfaatan tata ruang dan faktor urbanisasi menjadi penyebab banjir di wilayah Jakarta.
Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU Imam S Ernawi mengatakan pengendalian RTH telah tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota, khususnya sebelum berlakunya UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Data Kementerian PU mencatat terjadi penurunan signifikan RTH Jakarta dari 51 persen di tahun 1972 menjadi 9,6 persen di tahun 2012. "Untuk itu pembangunan kota harus lebih sensitif kepada isu-isu lingkungan dan mengadopsi prinsip-prinsip kota berkelanjutan," ujar Imam di sela presentasi karya Sayembara Gagasan Perencanaan dan Perancangan Kota Green Metropolis Jakarta 2050, di Jakarta, Rabu (23/1).
Imam mengakui banjir Jakarta tidak terlepas dari fakta bahwa topografi Jakarta yang 40 persen berada di permukaan laut, banyaknya sungai yang mengalir ke Jakarta (13 sungai), serta urbanisasi yang diikuti dengan perubahan tata guna lahan, mulai dari hulu hingga hilir yang tidak terkendali. Berbagai penanggulangan banjir, katanya, telah ditempuh, mulai dari pembangunan Kanal Banjir Barat dan Timur, polder, pengerukan sungai, hingga pemeliharaan drainase.
"Namun, berbagai upaya tidak mampu menyelesaikan persoalan karena tekanan urbanisasi yang jauh lebih besar, melebihi daya tampung bangunan pengendali banjir," jelasnya.
Untuk ke depan, katanya, diperlukan pula fokus penanganan pada aspek rekayasa sosial dan ekonomi yang menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat perkotaan pada lingkup kawasan metropolitan Jakarta dan sekitarnya.
Kerusakan Terparah
Sementara itu, pihak kementerian membutuhkan anggaran Rp 55 miliar untuk biaya perbaikan jalan nasional akibat banjir sepanjang 106 kilometer (km) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur).
Direkut Jenderal Bina Marga Kementerian PU Djoko Murjanto mengatakan kerusakan jalan yang ditimbulkan akibat banjir sebanyak 23 persen dari total panjang jalan nasional di wilayah Jabodetabek 453,3 km. Sementara estimasi biaya yang dibutuhkan untuk penanganan jalan 106 km, yaitu Rp 55 miliar.
"Dari dana tersebut telah ada anggaran rutin penanganan jalan rusak Jabodetabekjur sebesar Rp 23 miliar dan sisanya akan menggunakan dana cadangan darurat Kementerian PU Bina Marga," kata Djoko.
Menurut Djoko, kebutuhan dana perbaikan tanggap darurat kerusakan jalan akibat banjir akan digunakan untuk penanganan berupa penutupan lubang, pelapisan setempat (overlay), pembersihan, dan perbaikan saluran samping serta trotoar.
"Panjang jalan rusak terus bertambah, berdasarkan data Sabtu lalu jalan rusak sepanjang 47 km, kerusakan jalannya masih ringan dengan perkiraan biaya Rp 30-50 juta per km," kata dia.
Diungkapkan, kerusakan terparah memang terjadi di wilayah Jabodetabekjur, dan untuk wilayah lain belum terlalu signifikan. Setelah selesainya perbaikan jalan rusak dari dana tanggap darurat maka akan dilakukan perbaikan permanen di wilayah Jabodetabekjur dengan kebutuhan anggaran Rp 90 miliar dan Banten sebesar Rp 39 miliar.
"Biaya ini siginifikan, karena harus ada desain dan lelangnya, misalnya untuk biaya ketinggian jalan di Daan Mogot," katanya.
Beberapa jalan nasional yang mengalami kerusakan akibat banjir, di antaranya berada di Jalan TB Simatupang, Jalan Raya Bogor, Jalan TransYogi, dan Jalan Mayjen Sutoyo. Di Banten yaitu di ruas Pandeglang-Saketi, Pandeglang-Rangkasbitung, dan Serang-Pandeglang.
Sumber : SHNews