SURABAYA-Pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Surabaya kian tidak jelas. Kengototan Pemkot Surabaya membangun jalan bebas hambatan sebagai pengganti jalan tol tengah mulai dari Waru hingga Perak mustahil diwujudkan.
Vonis tersebut muncul setelah Panitia Khusus (Pansus) DPRD Surabaya selaku pembahas RTRW konsultasi ke Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Menurut BKPRN membangun jalan bebas hambatan lebih rumit dibanding membangun jalan tol.
“Ya, ternyata jalan bebas hambatan sesuai keinginan Pemkot Surabaya sebagai pengganti tol tengah kota lebih rumit perwujudannya. Bahkan, kami yakin Pemkot mustahil bisa membangun jalan bebas hambatan tersebut,” ungkap Sudirjo, Anggota Pansus RTRW DPRD Surabaya, Kamis (31/5).
Diungkapkannya, jalan bebas hambatan menurut BKPRN bukan seperti jalan Middle East Ring Road (MERR) IIC yang sekarang sedang dibangun Pemkot, atau Jalan Lingkar Luar Timur (JLLT), Jalan Lingkar Dalam Barat (JLDB) dan Jalan Lingkar Luar Barat (JLLB) yang diunggul-unggulkan Pemkot.
Jalan bebas hambatan yang dimaksud BKPRN adalah jalan yang tidak boleh ada persimpangannya dengan jalan lain. Selain itu, jalan tersebut harus ada pagarnya agar tidak terganggu kendaraan lain di kanan-kiri jalan tersebut. Secara infrastruktur hampir sama dengan jalan tol.
“Pertanyaannya sekarang adalah apakah Pemkot sanggup mewujudkan jalan bebas hambatan seperti itu. Sebab, biayanya mencapai trilunan rupiah dan harus ditanggung Pemerintah, jika tol kan ditanggung investor. Sebab bebas hambatan tidak berbayar seperti tol,” ungkap politisi asal PAN ini.
Menurutnya, dalam membangun MERR IIC saja Pemkot butuh waktu bertahun-tahun guna mewujudkannya. “Apalagi membangun jalan bebas hambatan yang persyaratannya hampir menyamai jalan tol tersebut, apakah Pemkot bisa?” terangnya.
Setelah ini, pansus akan konsultasi juga ke Provinsi terlebih dahulu. Konsultasi ini perlu karena masalah ini masih diperdebatkan di provinsi juga. “Kami masih galau untuk menyikapi hal seperti itu. Jangan sampai setelah kami putuskan di Pansus bahwa jalan bebas hambatan bukan tol tengah kota, lalu Pemprov menolaknya. Apalagi jawaban BKPRN seperti itu, masih saja persoalannya tetap jadi perdebatan,” ungkapnya.
Sedangkan, Ketua Pansus RTRW, Herlina Nyoto Harsono menambahkan, memang hasil konsultasi ke BKPRN seperti itu. Jalan bebas hambatan yang dimaksud di dalam RTRN tidak boleh ada persimpangan dan harus ada pagarnya seperti jalan tol. Atas kondisi itu membuat Pansus harus ekstra keras mencari solusinya. Apakah pembahasan Raperda RTRW ini dihentikan dulu atau perlu dikembalikan ke Pemkot lagi atau disahkan dulu biar Provinsi yang menentukan.
Langkah ini bakal diambil karena juga menyangkut biaya pelaksanaannya. Kalau diteruskan biaya pelaksanaannya cukup tinggi, mengingat Pansus butuh biaya untuk mendatangkan tenaga ahli atau lainnya.
Menurutnya, perdebatan seperti ini sudah berlangsung sejak 2010 lalu. Bahkan, pembahasan Raperda RTRW sebagai pengganti perda RTRW Nomor 3 Tahun 2007 telah berulang-ulang sampai tiga kali.
“Lha, kalau hingga kini masih terjadi tarik ulur masalah pengertian jalan bebas hambatan, ya, kami tetap saja bingung. Kami ngikut yang mana? Ngikut Pemkot Raperda ditolak Provinsi, ngikut Provinsi tak sesuai dengan isi Raperda yang sudah dijaukan Pemkot ke dewan,” terangnya.
Herlina Harsono Nyoto menambahkan, pansus akan konsultasi dengan Pemprov Jatim. Konsultasi akan ditemani orang dari Bappenas dan Bappeko Surabaya. Menurutnya, jalan keluar harus dicari. Bila Provinsi dan Pemkot masih beda pendapat soal jalan bebas hambatan dan tol tengah kota, sudah tentu raperda RTRW gagal disahkan lagi untuk kali ketiga.
Sedangkan, pakar tata kota dan arsitektur asal Institut Teknologi Sempuluh November (ITS), Johan Silas, mempertanyakan konsep jalan bebas hambatan yang dimaksud dalam PP 26 Nomor 2008 tentang RTRW. Pasalnya, jalan bebas hambatan ini sulit direalisasikan.
“Di bundaran Waru membentang dari Barat ke Timur, ada jalan tol. Lha kalau jalan bebas hambatan dari Wonokromo ke Aloha dibuat, apa mau menembus jalan tol ini. Kan tidak boleh karena namanya jalan bebas hambatan,” ujarnya, saat ikut pertemuan di gedung Bappeko Surabaya, Jumat (25/5).
Kalau pun dipaksakan dibangun, jalan bebas hambatan ini akan memiliki ketinggian 24 meter di atas permukaan tanah. Pasalnya, jalan tol di bundarana Waru itu memiliki ketinggian 8 meter. “Kalau dibangun di bawahnya kan tidak mungkin,” jelas Silas.
Karena itu, Silas menganggap jalan bebas hambatan ini tidak sesuai dengan sistem jalan di Surabaya. Terlebih, sistem jalan di Surabaya yang menggunakan sistem grade dan bukan koridor seperti di Jakarta.
“Kita sudah punya delapan akses keluar masuk kota. Jalan-jalan itu dibangun juga untuk menampung kepentingan perdagangan dan barang. Tapi saya setuju dengan mediasi karena RTRW Surabaya tidak akan disetujui kalau tidak sesuai dengan RTRW Jatim dan begitu sebaliknya,” imbuhnya.
Guru Besar ITS itu juga mempermasalahkan Waru dan Aloha yang bukan wilayah Surabaya . Sehingga tidak ada kewajiban bagi Surabaya untuk membahas dua titik itu. “Kalau di Provinsi Jatim mungkin tidak masalah karena lokasi itu bagian darinya,” pungkas Silas.
Kepala Bappeko Surabaya, Hendro Gunawan, menegaskan Surabaya tidak butuh tol tengah kota. “Kota ini tidak perlu tol tengah kota. Kita sudah memiliki tujuh rencana jaringan jalan. Mulai dari jalan umum, bebas hambatan sampai rute kereta api double track,” tegasnya.
Sumber : SurabayaPost.Co.id