SURABAYA-Selama ini, Pemkot Surabaya hanya mampu menertibkan 4 sampai 8 titik reklame bodong di Surabaya selama seminggu. Padahal, jumlah reklame yang tidak berizin tersebut mencapai ratusan. Belum lagi Pemkot tidak memiliki alat untuk menertibkan reklame berukuran jumbo.
Karena itu, program penataan reklame di ruang milik jalan (rumija) atau daerah milik jalan (damija) yang akan dilakukan Pemkot diprediksi kalangan DPRD Surabaya membutuhkan waktu minimal dua tahun.
“Prediksi kami seperti itu. Bahkan, penertibannya bisa jadi lebih dari dua tahun. Pemkot hanya bisa menertibkan sekitar 96 titik per tahunnya. Lha, kalau reklame bodongnya ada 600 titik, Satpol PP bisa memakan waktu sampai 6 tahun lebih,” ujar Sudirjo, Anggota Komisi C DPRD Surabaya, Rabu (21/3). Jika demikian, tandasnya, maka upaya penatan reklame di rumija tergolong awu-awu alias omong kosong.
Hal serupa diungkapkan Ketua Komisi B DPRD Surabaya, Mochamad Machmud. Dia mengatakan, rencana Pemkot Surabaya mengubah kebijakan terhadap keberadaan rumija atau damija untuk reklame diprediksi terus menuai masalah. Pemkot bakal menyewakan rumija untuk pemasang reklame karena Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah melarang penarikan pajak di rumija.
Dan penataan reklame di rumija tersebut terkait rencana perubahan kebijakan tersebut. Menurut Machmud, kebijakan baru Pemkot tersebut bakal tumpang tindih. Memang Pemkot tidak menarik retribusi reklame, tapi pemilik reklame tetap wajib membayar retribusi Izin Mendirikan bangunan (IMB).
“Kalau penertiban reklame bodong di rumija butuh enam tahun, lantas kapan Pemkot bisa meraup pendapatan dari reklame. Saya kira sampai jabatan Walikota sekarang habis, masa jabatan penataan reklame di rumija belum tuntas dan pendapatan dari sektor pemasangan reklame di rumija tidak bisa ditarik,” ujarnya.
Sejalan dengan ini, pihaknya meminta Pemkot mencari cara yang jitu guna mengatasi masalah ini. Menurutnya, Pemkot tampak kebingungan dalam menyikapi larangan yang tertuang di dalam UU 28/2009. Karena, rumija tidak termasuk aset negara yang boleh disewakan kepada publik, baik untuk reklame, perkantoran dan sebagainya.
Selain itu, atas larangan tersebut Pemkot juga tampak khawatir pendapatannya menurun drastis, mengingat pendapatan dari retribusi pemanfaatan rumija dengan nilai ratusan miliar itu bakal hilang selamanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Pemkot Surabaya, Agus Imam Sonhaji mengakui penertiban reklame di Surabaya, khususnya reklame di rumija masih memiliki banyak kendala. Beberapa kendala itu di antaranya, alat pemotong reklame besar tidak dimiliki Pemkot. Selain itu, petugas Satpol PP selaku eksekutor reklame bodong hanya sekitar 30 orang yang dibagi tiga tim eksekutor.”Ini kendalanya,” ungkap Agus.
Meski demikian, lanjutnya, hampir dipastikan, ratusan bahkan ribuan reklame bodong itu akan ditebang. Ini karena, sesuai UU tersebut tidak boleh ada penarikan pajak dan retribusi pada rumija.
Sejalan dengan hal itu, Pemkot memperoleh Surat Edaran (SE) Menteri Dalam negeri (Mendagri) yang intinya tetap diperbolehkan berdirinya reklame di rumija tapi pendapatannya dari sektor ini diatur dengan sistem sewa menyewa rumija.
Atas munculnya surat edaran itu seluruh reklame rumija sedang dalam kajian tim. Keberadaannya akan ditinjau kembali, karena selama ini keberadaan reklame tersebut sangat menjamur.
“Kami akui itu sulit, tapi kami akan mencoba mencari solusinya. Salah satunya agar penertibannya cepat kami akan mencari pihak ketiga. Kalau penertiban reklame oleh pihak ketiga tidak boleh secara undang-undang, ya kami akan cari jalan yang lain. Apakah menambah petugas Satpol PP atau dengan cara lain,” jelasnya.
Sementara itu di saat Pemkot sibuk akan menertibkan reklame bodong kini berdiri reklame bando yang membentang di Jl Arif Rahman Hakim. Ditengari, reklame ini belum mengantongi izin.
Sumber : SurabayaPostOnline