
"Pemerintah harus meninjau kembali peraturan tersebut sebelum kerusakan hutan semakin meluas," kata Hapsoro Direktur Forest Watch Indonesia (FWI) dalam surat elektroniknya kepada ANTARA News, Sabtu.
Ia menjelaskan, dua Lembaga swadaya masyarakat (LSM-red) pemantau hutan mensinyalir terjadinya ancaman yang semakin besar terhadap keutuhan kawasan hutan di Kalimantan Tengah menyusul dikeluarkannya Perpres nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan.
Pada tanggal 5 Januari 2012 lalu, telah terbit sebuah peraturan baru yang mengatur rencana penataan ruang untuk lingkup pulau.
Rencana penataan ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan.
Berdasarkan peraturan tersebut, disebutkan adanya batas minimal perlindungan Kawasan Konservasi dan Kawasan Lindung bervegetasi sebesar 45 persen dari luas Pulau Kalimantan.
"Tidak hanya batas minimal kawasan yang harus dilindungi, peraturan tersebut juga menyebutkan adanya upaya rehabilitasi kawasan hutan yang terdegradasi, termasuk didalamnya bekas pertambangan dan menjadikan Pulau Kalimantan sebagai Paru-Paru Dunia," katanya.
Namun, lanjut dia, peraturan ini menghilangkan status Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang berada pada Kawasan Hutan Negara.
Menurut dia, kehilangan status ini ternyata berimplikasi pada ancaman deforestasi yang lebih serius di Provinsi Kalimantan Tengah.
Ancaman ini disinyalir terjadi berdasarkan analisis yang dilakukan oleh FWI dan Telapak terhadap Lampiran 2 pada Peraturan Presiden tersebut.
"Dalam analisanya, kedua organisasi pemantau hutan ini menemukan adanya kehilangan hutan seluas 3,32 juta hektare" yang sebelumnya dikategorikan sebagai Hutan Produksi Terbatas," katanya.
Lebih lanjut Hapsoro mengatakan, sekalipun areal seluas ini tidak sepenuhnya berhutan, namun sebagian besarnya masih berupa tegakan hutan alam.
Berdasarkan laporan Potret Keadaan Hutan Indonesia yang dirilis pada bulan Juli 2011 lalu, FWI telah melaporkan bahwa provinsi Kalimantan Tengah adalah provinsi dengan tingkat deforestasi terbesar di Indonesia.
"Setidaknya hutan-hutan di provinsi ini telah hilang sebesar 2 juta hektar pada periode tahun 2000 hingga 2009," ujarnya.
Menurut Hapsoro, kehilangan hutan ini terjadi di hampir seluruh tipe ekosistem hutan, termasuk diantaranya 490 ribu hektar hutan yang berada di atas ekosistem gambut.
"Kami telah menyampaikan terjadinya kehancuran hutan dalam skala sangat besar di Kalimantan Tengah. Namun beberapa bulan kemudian Pemerintah justru memperparah kondisinya melalui Perpres Tata Ruang Pulau Kalimantan ini," katanya.
Sementara itu, lanjut Hapsoro, Telapak juga telah mengeluarkan sebuah laporan berjudul "Menjambret REDD" pada bulan Juni 2011.
Laporan tersebut memaparkan bukti-bukti penggundulan hutan gambut oleh perkebunan kelapa sawit PT Menteng Jaya Sawit Perdana pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan moratorium penebangan hutan di Kalimantan Tengah.
"Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan hutan hanya akan menjadi janji kosong dengan keluarnya Perpres Tata Ruang Pulau Kalimantan ini," ujarnya.
Sementara itu, Juru Kampanye Hutan Telapak, Abu Meridian mengatakan, pelajaran praktek buruk yang dilakukan oleh PT Menteng di Kalimantan Tengah seharusnya dicermati secara serius oleh Pemerintah, bukannya malah memberi ruang terjadinya penggundulan hutan besar-besaran.
"Sebagai organisasi non Pemerintah yang aktif memantau praktek-praktek pengelolaan hutan di Indonesia, FWI dan Telapak mengkhawatirkan terjadinya kerusakan hutan yang semakin meluas di Kalimantan Tengah," katanya.
"Kami meminta Pemerintah untuk segera meninjau ulang Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 ini, karena berpotensi besar mengancam keberadaan hutan-hutan yang tersisa di provinsi tersebut," tambahnya.
Sumber : AntaraNews.Com