
Nelayan asal Desa Roban Barat, Kabupaten Batang itu tak akan pernah lupa pada bagaimana keluarga adiknya yang dulu nelayan di Cilacap, terpaksa pindah ke Batang.
Sejak PLTU berdiri di Cilacap, sang adik sulit mendapat ikan, padahal laut Cilacap adalah laut dalam, berbeda sekali dari laut di wilayah Batang.
"Saya mikir, dampak PLTU Cilacap bisa seperti itu. Bagaimana kalau benar-benar akan dibangun di Batang yang lautnya lebih dangkal? Apalagi kapasitasnya jauh lebih besar," kata Salim yang lahir di Desa Roban itu.
Salim membayangkan, limbah PLTU akan "mampir" ke laut, lalu menghancurkan sumber biota laut. Ia yakin, laut akan ikut menelan dampak buruk megaproyek itu.
Dia dan nelayan lainnya akan sulit mencari udang dan ikan, sumber mata pencahariannya. Apalagi, wilayahnya masuk peta terkena proyek PLTU.
Salim membatin, apakah dia akan bernasib sama dengan adiknya, tergusur dari tanah kelahiran? "Saya harus kemana? Adik saya saja pindah ke sini," katanya yang hanya bisa melaut ini.
Ketika pengembang megaproyek itu, PT Bhima Sena, menjanjikan pekerjaan bagi 5.000 penduduk Kabupaten Batang, ia menolak.
"Dulu waktu pembangunan PLTU Cilacap juga dijanjikan seperti itu. Tetapi hanya berlangsung sewaktu pembangunan saja, hanya sesaat. Saya tetap menolak, itu harga mati," katanya.
Data dinas perikanan dan kelautan menyebutkan, ada 101.814 warga Kabupaten Batang yang menggantungkan hidup pada sektor kelautan. Ada 10.961 orang nelayan di sini. Ribuan penduduk Roban menggantung hidupnya pada 200 hingga 230 perahu.
Sebagian Desa Roban masuk kawasan lindung. Daerah pantai Roban telah ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Nasional berupa Taman Wisata Alam Laut Daerah Pantai Ujungnegoro – Roban, sesuai peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008.
"Anak cucu kami mau makan apa?" kata Salim menerawang, menutup perbincangannya dengan ANTARA News di Desa Karanggeneng, Kamis pekan lalu.
Menyisakan tanya
Proyek PLTU Batang berkapasitas 2x1000 Mega Watt yang diklaim sebagai PLTU terbesar di Asia Tenggara itu dibangun oleh tiga perusahaan besar, yakni J. Power, Adaro Power, dan Itochu Corp yang membentuk konsorsium bernama PT Bhima Sena.
PLTU Batang akan menjadi megaproyek strategis nasional untuk memenuhi pasokan kebutuhan listik Jawa–Bali karena pemerintah mengejar pasokan listrik 10.000 Mega Watt untuk 35% warga Indonesia yang belum berlistrik.
Target tahun ini adalah mengurus perijinan dan pembebasan lahan, sementara pembangunan fisiknya dikerjakan dari 2013 hingga 2017.
Lima desa di Kabupaten Batang, Jawa Tengah akan terkena proyek ini. Kelimanya; Desa Karanggeneng, Roban, Ujung Negoro, Wonorekso, dan Ponowareng.
Megaproyek ini akan melahap lahan seluas 370 hingga 700 hektar, memangsa lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar, sawah tadah hujan seluas 152 ha, dan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) dari Ujungnegoro-Roban yang juga tempat menanam terumbu karang.
Pro dan kontra menyelimuti Kabupaten Batang ketika soal izin lokasi hingga kini masih dikaji dan diteliti.
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Tengah sendiri menilai lokasi terpilih di Karanggeneng menyalahi rencana tata ruang wilayah (RTRW) nasional, RTRW Jawa tengah, dan RTRW Kabupaten Batang, karena berada pada kawasan laut.
Ada kejanggalan pada Keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011 tanggal 19 September 2011 yang mengubah Keputusan Bupati Batang Nomor 523/283/2005 tanggal 15 Desember 2005 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro – Roban Kabupaten Batang, dengan mengubah titik koordinat batas terluar Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) menjadi dari Ujung Negoro Kecamatan Kandeman - Karangasem Utara Kecamatan Batang.
BLH Jawa Tengah menilai ini bertentangan dengan baik Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dan Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 – 2029, maupun Perda Kabupaten Batang Nomor 07 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011 – 2031
BLH Jawa Tengah menyarankan PLTU Batang pindah ke Tanjung Celong, Desa Kedawung, Kecamatan Subah.
"Soal pembebasan lahan juga masih belum jelas. Penawaran berkisar 35 ribu hingga 40 ribu per meter. Namun ada isu harga tanah yang ditawarkan perusahaan mencapai 400 ribu per meter," kata Suyitno, warga Desa Karanggeneng.
ANTARA News berusaha menghubungi Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo untuk mengonfirmasi semua ini, namun sang bupati enggan merespons.
Berkaca dari sebelumnya
PLTU Batang disebut-sebut akan menggunakan teknologi terbaru dan pertama kali diterapkan Indonesia, yakni teknologi USC (Ultra Super Critical), selain akan menggunakan peralatan ramah lingkungan seperti penangkap sulfur (FGD) filter debu.
Sejumlah pihak tidak setuju dengan klaim ini, diantaranya Greenpeace. Teknologi yang disebut Clean Coal Technology itu disebut Greenpeace hanya untuk efisiensi produksi PLTU. Emisi yang dikeluarkan mungkin berkurang, namun tak menghindarkan tersebarnya emisi PLTU seperti SOx, NOx, dan merkuri.
"Tidak sama sekali menggambarkan soal mengurangi risiko lingkungan, hanya efisiensi. Misal jika satu ton batubara menghasilkan 40 watt, dengan teknologi itu bisa menghasilkan 60 watt," kata Juru Kampanye Iklim dan Energi, Arif Fiyanto.
Greenpeace mendesak pemerintah membatalkan pembangunan PLTU itu. "Jangan lagi menambah ketergantungan kita terhadap bahan bakar fosil batu bara yang sangat kotor ini," kata Arif.
Greenpeace yang pernah mendampingi masyarakat sekitar PLTU Cilacap dan Cirebon mengingatkan dampak PLTU tidak hanya menimpa lingkungan, namun juga aspek sosial dan ekonomi.
Sejak masa konstruksi PLTU di kawasan Indramayu, Cirebon, Cilacap, Rembang, dan Jepara, banyak warga kehilangan pekerjaan, bahkan jatuh miskin.
Contohnya, nelayan budidaya kerang hijau di Cirebon harus masygul ketika bagan-bagan hijau mereka rusak dicemari sedimentasi saat PLTU dibangun.
Kerang hijau akhirnya tak bisa dikonsumsi, padahal kerugian dari satu bagan kerang hijau tidaklah kecil, Rp14 juta sekali panen! Biasanya mereka bisa enam kali panen dalam setahun.
Ratusan nelayan budidaya kerang hijau itu akhirnya menuntut PLTU Cirebon. Tuntutan dipenuhi, namun hanya Rp2 miliar. Itu mesti dibagi rata untuk ratusan nelayan itu.
PLTU Cirebon hanya berkapasitas 2x300 Mega Watt dan PLTU Cilacap berkapasitas 2x330 Mega watt. Sedangkan PLTU yang akan dibangun di Batang 2x1000 Mega watt.
Dampak negatifnya mungkin akan jauh lebih besar sehingga pihak berwenang mesti memikirkan nasib ribuan orang tidak berdosa di sana.