Pakar hukum politik Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H menyatakan undang-undang dan peraturan ideal pun menjadi tidak bermakna selama ukurannya keuntungan materiil bukan tegaknya hak-hak dan kewajiban warga negara.
Dia mencontohkan sejumlah undang-undang yang sebagian klausulnya berpihak kepada kaum marginal antara lain UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin dan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
UU penataan ruang dan agrarian misalnya, hak-hak dasar warga diatur di dalamnya, termasuk hak kaum marginal, kaum adat. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melupakan amamnat di dalamnya ketika ruang dan tanah dihadapkan pada kepentingan industri, misalnya. Pemerintah mengutamakan manfaat materiil dari tanah dan tata ruang dengan mendahulukan pengusaha atau industri. Misalnya tanah untuk perumahan sangat sederhana dihadapkan dengan kepentingan pengembang untuk perumahan mewah, pemerintah lebih memilih pengembang perumahan mewah. “Pertimbangannya akumulasi pendapatan yang diraih pemerintah,” ujar dia, Senin (18/2/2013).
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menegaskan, kondisi serupa bisa dijumpai pada hak pedestrian untuk pejalan kaki sebagiamana amanat UU Lalulintas, hak penanganan fakir miskin oleh negara, ketika nilai akumulasi ekonomi tidak diperoleh pemerintah, amanat yang ada dalam undang-undang tersebut hanya sebagai hiasan saja.
Menurut dia orientasi pembangunan hukum nasional yang demikian berorientasi pada kepentingan kalipatalis saja.Ini bisa dikatakan politik hukum nasional bersifat setengah hati. Undang-undangnya memberi wadah dan perhatian terhadap kelompok marjinal, pemangku kepentingan atau aparat negara tidak melaiksanakan.
“Terdapat ketidakpaduan antara amanat pemberian perhatian kelompok marjinal di tingkat undang-undang berpengaruh dalam penjabarannya di tingkat peraturan pelaksanaannya baik oleh pemerintah pusat maupun daerah,” kata dia.
Menurut dia, konstruksi kesenjangan amanat dan pelaksanaan undang-undang tersebut harus diubah oleh aparat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar slogan melayani kepenitngan masyarakat dan memihak kepada kaum marginal tidak sebaas konsep.
Sumber : PikiranRakyat