Hal itu merupakan salah satu konsep mitigasi yang disarankan Henita Rahmayanti, mahasiswa S-3 Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dalam disertasinya. Disertasi yang berjudul ”Model Adapatasi Masyarakat dalam Penataan Ruang Kota Rawan Bencana” ini mengungkapkan kalau masyarakat harus menyadari dan paham cara mitigasi.
Ada beberapa konsep dalam penelitian yang dilakukannya di Kecamatan Padang Barat, Kota Padang ini. Pertama, masyarakat harus membiasakan dengan tata ruang. Di sini, pemerintah menyediakan sarana dan prasarana mitigasi, contohnya shelter, jalur evakuasi, bahkan sirene tanda bencana.
Adaptasi yang dimaksudkan dalam disertasi itu adalah, masyarakat harus paham tentang keadaan (tata ruang) kota. Misalnya, jalur evakuasi dibangun untuk membantu evakuasi jika terjadi gempa dan tsunami.Shelter berfungsi menyelamatkan diri jika tsunami terjadi. Nah, masyarakat harus membiasakan dengan itu, sehingga sarana dan prasarana itu tetap pada fungsinya.
Contohnya, jalur evakuasi tidak dijadikan area berdagang kaki lima, penunjang keselamatan di shelterseperti jenjang dan lainnya selalu berada dalam konsidi baik. ”Dengan membiasakan dan bisa memahami itu akan mebuat menjadi sebuah budaya,” ujar Henita yang berhasil mempertahankan disertasinya dan dinyatakan meraih gelar doktor ilmu lingkungan pada 5 Januari lalu.
Henita menjelaskan, penelitian yang dilakukanya untuk menggambarkan interaksi manusia dengan lingkungan yang merupakan kajian ilmu lingkungan hidup. Masyarakat merupakan faktor utama dalam upaya mitigasi dengan kemampuannya beradaptasi dalam kota rawan bencana, dipengaruhi oleh pemahaman dan persepsi.
Persepsi inilah yang membuat masyarakat siap menghadapi bencana. Dengan begitu, terbentuk budaya yang baik dan bisa beradaptasi dengan tata ruang kota. Peningkatan persepsi melalui peningkatan pengetahuan dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana dan mitigasi, akan semakin baik jika sejalan dengan kesiapan sarana dan prasarana terkait mitigasi.
Henita juga menyampaikan, adaptasi ini bukan hanya sebatas satu generasi saja. Seperti yang disebutkanya, budaya itu akan turun-temurun dilakukan. Di sanalah peran ninik mamak, pemangku adat, dan tokoh agama dalam memberikan edukasi pada generasi berikutnya. Jangan sampai shelter itu hanya bertahan pada satu generasi saja, pasalnya bencana itu bisa datang kapan dan di mana saja.
”Kalau sudah menjadi budaya, tentu adaptasi ini bisa diterima baik masyarakat. Untuk mitigasi ini perlu sinergi dari seluruh pihak, masyarakat dan pemerintah harus memahami ini,” ujarnya.
Sumber : PadangEkspres