Kepala Dinas Kehutanan Kutim, Ordiansyah, mengatakan Pemkab telah meminta pendapat para ahli hukum tentang Perda Nomor 6 tahun 2004 tentang RTRW Kutim 2001-2010. Salah satu bahasan penting adalah tentang batas wilayah hutan.
Pada sisi lain, telah terbit putusan MK terhadap permohonan JR lima Bupati di Kalteng atas pemberlakuan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 1 angka 3 tentang penunjukan kawasan hutan.
"Berdasarkan putusan MK, pasal 1 angka 3 UU Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan melanggar UUD 1945. Kawasan hutan yang belum ada penetapannya di lapangan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Kawasan hutan baru memiliki kekuatan hukum setelah ditetapkan. Bukan semata penunjukan," katanya.
Untuk Kutim, baru 5 persen atau 6 persen kawasan hutan yang ditetapkan. Sehingga masih 90 persen lebih hutan belum ditetapkan, yang artinya belum memiliki kekuatan hukum tetap. Karena itu Pemkab menilai diperlukan penentuan ulang batas kawasan hutan.
"Dalam hal ini, kami menilai penunjukan kawasan hutan harus dibicarakan kembali antara Menhut dengan bupati. Sehingga tidak ada lagi ketidaksepahaman tentang batas kawasan hutan," katanya.
Langkah tindak lanjut ini masih dalam tahap pengusulan oleh Pemkab Kutim pada Kemenhut. Hal ini karena putusan MK berlaku untuk semua orang di Indonesia dalam pemberlakuan pasal 1 angka 3 UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999.
Ordiansyah mengatakan, putusan MK tersebut akan ditindaklanjuti, salah satunya dengan mengevaluasi kembali rencana tata ruang wilayah perubahan. "Untuk RTRW, tidak direview. Karena usulan itu sudah berasal dari daerah. Namun yang kami harapkan, sebelum putusan Menhut terbit, bila ada usulan yang ditolak, harus dikonfirmasi dulu ke daerah," katanya.
Ordiansyah mengatakan secara khusus Pemkab Kutim sudah melaksanakan konsolidasi awal untuk mereview penataan batas kawasan hutan. "Hal ini penting, karena tata ruang tergantung dari kejelasan batas kawasan hutan," katanya.
Namun ia mengatakan tidak ada istilah penambahan atau pengurangan luasan hutan. "Kami mempelajari pola pemanfaatan ruangnya. Penambahan atau pengurangan bukan tujuan. Namun lebih pada penerapan kriteria kepentingan daerah dalam tata ruang," katanya.
Dengan konsep tersebut, bisa jadi kawasan yang sebelumnya hutan menjadi non hutan. Dan sebaliknya kawasan non hutan menjadi kawasan hutan. "Kami tidak berorientasi ke perubahannya, tapi pada kebutuhan masyarakat," katanya.
Sumber : TribunNews.Com