
Secara ekonomis siapapun dapat melakukan pemanfaatan hutan (open acces), dengan dasar legitimasi masing-masing, yang pada sektor hilirnya dari bias administrasi dan sektoral tersebut merupakan permasalahan yang harusnya menjadi prioritas untuk para pengambil kebijakan. Bagaimana agar benang kusut seperti itu segera diakhiri, tentu dengan tanpa pretensi negatif dan kepentingan untuk para pengambil kebijakan dalam pemanfaatan kawasan hutan dimaksud.
Beberapa pemikiran agar kekusutan itu segera berakhir dan diakhiri, kiranya untuk solusi masalah tata ruang Kotim, adalah: pertama hendaknya pendekatan yang digunakan dalam penataan ruang di sektor kehutanan dapat dijadikan sebagai dasar. Artinya bahwa pendekatan itu sifatnya komprehensif. tidak hanya berangkat dari dimensi fisik dari ruang (hutan) dengan segala dimensinya, yaitu didasarkan kepada fungsi kawasan hutan dengan fungsi lindung, konservasi dan produksi semata.
Di dalam RTRWP/RTRWK pendekatan yang digunakan hendaknya juga benar-benar berangkat dari kondisi fisik di lapangan yang sudah berubah, bahkan sangat berubah. Kedua, di dalam penataan ruang kehutanan dan RTRWP/K perlu dilakukan dengan pendekatan geografis, pendekatan ekonomi, sosial, yuridis dan tidak kalah pentingnya dengan pendekatan aktor. Pendekatan geografis dilakukan mengingat kawasan yang menjadi titik tuju pengaturan itu merupakan kawasan yang khas. Kondisi konkret harus benar-benar dipahami sebagai dasar pembuatan kebijakan.
Dari pendekatan ekonomi, bahwa dalam penataan ruang kehutanan selama ini, pertimbangan sektor ekonomi lebih diutamakan oleh pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap lahan kehutanan. Bukan rahasia, bahwa permasalahan penataan ruang RTRWP Kalteng yang belum selesai selama ini karena adanya perbedaan kepentingan antar pemerintah daerah dengan Kementerian Kehutanan (Pusat) terkaitan proporsi peruntukan kawasan hutan dan kawasan budidaya non kehutanan.
Konkretnya, aplikasi pertimbangan ekonomi dengan pembangunan Kebun kelapa sawit dan pertambangan, pemerintah daerah mengusulkan luas kawasan hutan 56% dan kawasan budidaya non kehutanan 46%, sedangkan Pemerintah Pusat menetapkan luas kawasan hutan sebesar 82% dan 12% budidaya nonkehutanan. Ini harus segera dijadikan titik temu. Sesuai dengan semangat otonomi daerah dan notabene daerah yang paling tahu kondisi wilayahnya, deskripsi daerah itulah yang dilegitimasi. Tanpa adanya titik temu, menyebabkan peta kawasan hutan (pengganti TGHK) untuk Kalteng belum dapat disahkan.
Pada perspektif pendekatan sosial, kiranya diakomodasikan kepentingan masyarakat secara konkret. Pendekatan sosial dalam penataan ruang adalah mengakomodasikan adanya space yang lebih leluasa untuk masyarakat. Dalamspace ini akan terbentuk modal sosial, yang didasari pada pola interaksi antara masyarakat dengan hutan. Modal sosial di dalam masyarakat dapat digunakan untuk menentukan pola pengelolaan sumber daya alam secara konkret. Dengan pendekatan ini, maka pembagian ruang dalam kawasan hutan dapat dilihat dari keberadaan modal sosial yang terdapat di sekitar kawasan hutan. Masyarakat secara konkret mempunyai tempat yang legal dan legitimate.
Perspektif Hukum
Pada perspektif pendekatan yuridis atau hukum, bahwa menurut UU No. 26 Tahun 2007, pendekaan politik dalam penataan ruang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu proses penataan ruang berkaitan dengan kepentingan berbagai pihak dan penataan ruang memerlukan adanya partisipasi masyarakat.
Perencanaan tata ruang kehutanan merupakan sebuah proses politik yang dituangkan dalam produk hukum yang ketika berada pada tataran aplikatif menimbulkan persaingan antar kelompok. Hal ini terkait dengan adanya proses pelepasan kawasan hutan untuk penggunaan di luar sektor kehutanan yang berdampak strategis, misalnya pelepasan hutan lindung yang harus dengan persetujuan DPR. Sebenarnya kompetisi itu wajar, namun jika tidak dikelola dengan baik berpotensi menimbulkan konflik.
Di sini diperlukan adanya pemahaman politik dalam perencanaan tata ruang dan perencana harus mampu bersifat dan bertindak obyektif dalam merekomendasikan solusi ketika terjadi perbedaan pendapat dalam mengambil keputusan.
Pada perspektif ini, diketahui bahwa penyebab, dan pada akhirnya menjadi tantangan yang harus diselesaikan terkait dengan kekuatan politik yang diakomodasikan dalam bentuk hukum, adalah:
- mengemukanya konflik kepentingan antar sektor seperti konflik penggunaan hutan untuk pertambangan dan perkebunan
- Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam penataan ruang. Hal ini menyangkut belum adanya aturan yang secara tegas menentukan kelompok masyarakat mana yang memeiliki aturan adat/wilayah adat/Hak Ulayat. Di samping keawaman masyarakat dalam masalah tersebut.
- Masih lemahnya kepastian hukum dan koordinasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini disebabkan oleh tumpangtindihnya aturan
- Terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakan. Penyebabnya adalah ketidakjelasan aturan yang dijadikan sebagai dasar.
Pendekatan aktor
Pada perspektif pendekatan aktor, digunakan untuk menjelaskan para pelaku yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam hal ini adalah masyarakat, pemanfaat hutan yang dating kemudian, dan penggagas kebijakan. Harus digarisbawahi bahwa permasalahannya berkait dnegan persoalan ekologi yang harus dikelola dengan tepat. Permasalahan ekologi tidak terlepas dari persoalan politik dan ekonomi, sosial dan hukum dan bahkan permasalahan pada sektor lain yang kompleks.
Dengan pendekatan aktor, maka siapa saja yang terlibat dalam penataan ruang di sektor kehutanan harus dilibatkan secara konkret. Apakah dia aktor yang berada di Pusat maupun Daerah, atau masyarakat yang secara tradisional dan alami memanfaatkan hutan untuk kelangsungan hidupnya.
Dengan demikian, untuk menyelesaikan konflik ini perlu tindakan dalam mengambil kebijakan yang dapat mengakomodasi seluruh kepentingan dalam rangka pembangunan kelestarian hutan dan kawasan Kotim pada umumnya secara berkelanjutan. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan tersebut aspek lingkungan hidup perlu mendapat perhatian yang seimbang. Min dset-nya tidak semata ekonomi, tetapi juga sektor lain yang komprehensif.
Sumber : RadarSampit