"Sebagai perusahaan BUMN, kami tentu harus siap melaksanakan apa yang ditugaskan pemerintah. Tetapi, ada aturan mainnya juga sebagai perusahaan BUMN, kami tidak boleh merugi," kata Direktur Utama Perum Perumnas Himawan Arief usai diskusi menganai kebijakan perumahan di Jakarta, Kamis (8/3).
Menurut Himawan, perhitungan itu harus sesuai mencakup tanah, bangunan (konstruksi), ongkos tukang, prasarana, utilitas, dan sebagainya. "Jika perhitungannya masuk, kami akan bangun, tetapi menurut perhitungan kami, selama ini belum masuk Rp 25 juta untuk tipe 36, kecuali Rp 35 jutaan," ujarnya.
Namun, dia mengakui, meski dirasa tidak mungkin dibangun, kebijakan Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz untuk membangun rumah murah masih bisa terealisasi, asalkan pemerintah mau melakukan intervensi, yaitu dengan menutupi selisihnya. Dia mencontohkan, Pemerintah Tiongkok yang intervensi dalam pembangunan rumah murahnya dengan membantu dalam penyediaan lahan dan prasarana umum.
Sebelumnya, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz mengaku akan membangun rumah tipe 36 seharga Rp 18 juta jika dibeli tunai dan Rp 25 juta jika mencicil. "Rumah contoh sudah saya bangun di Kemenpera dan nyatanya bisa hanya dengan biaya Rp 18 juta," katanya. Bahkan, Faridz percaya diri, nantinya Perumnas akan siap membangun di lokasi Depok atau Bekasi.
Namun, Himawan saat dikonfirmasi terkait hal ini mengaku, pihaknya belum bisa membayangkan jika dibangun di Bekasi dan Depok.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum DPP Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan, permasalahan yang dihadapi tidak hanya soal rumah murah Rp 25 juta yang produknya sama sekali belum ada di pasaran, tetapi juga soal kisruh fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), polemik UU nomor 1 PKP mengenai pembatasan rumah tipe 36, dan masih banyak lagi.
"Banyaknya program pemerintah yang tambal sulam dan tidak jelas membuat pelaksanaannya menjadi tidak jelas di lapangan. Visi pemerintah untuk mengurangi back log pemerintah pun dikhawatirkan akan tidak dapat tercapai karena program pemerintah relatif tidak membumi dengan kondisi lapangan yang ada," ujarnya.
Menurut Ali, program pemerintah dalam rangka mengurangi back log perumahan diperkirakan terancam gagal bila beberapa kebijakan dan regulasi yang ada bersifat kontradiktif dengan visi program yang ada. Munculnya UU nomor 1 PKP yang membatasi tipe 36 memberikan tekanan pada pasar menengah-bawah untuk membangun di bawah tipe tersebut.
Faktanya, lanjut dia, di lapangan masih banyak permintaan rumah dengan tipe di bawah tipe 36. Dari sisi daya beli pun diperkirakan masyarakat sebagian besar hanya sanggup untuk membeli rumah tipe di bawah tipe 36. "Dengan aturan UU yang baru ini, maka dikhawatirkan banyak pengembang-pengembang kecil yang kolaps, karena secara pembiayaan perbankan pun akan membatasi kreditnya dengan batasan minimal tipe 36," ujarnya.
Sumber : SuaraKaryaOnline