Secara konvensional, untuk membangun rumah rak yat banyak biasanya bersumber dari perbankan. Namun, perbankan sulit diharapkan sepenuhnya dapat membiayai perumahan untuk rakyat kecil dalam jangka panjang. Apalagi, kondisi pasar perbankan yang demikian kompetitif, mengharuskannya lebih cekatan dalam menyediakan pendanaan berjangka pendek sehingga tidak tepat perbankan membiayai perumahan. Belum lagi, kebijakan Bank Indonesia bahwa bank pemerintah nantinya hanya satu, ini semakin mempersempit peran negara dalam membiayai perumahan rakyat.
Di negara maju, sumber pembiayaan perumahan tidak lagi mengandalkan perbankan. Jauh hari, mereka telah memanfaatkan pasar modal sebagai salah satu sumber utama pembiayaan perumahan. Dana yang bersumber dari secondary mortgage facility (SMF) menjadi tumpuan utama untuk membiayai perumahan. Lembaga yang bergerak sebagai SMF bergerak sebagai substitusi menggantikan perbankan dalam pembiayannya. Kredit perumahan bank dijual kepada SMF untuk kemudian disekuritisasi.
Namun, cerita sumber dana dari SMF ini menjadi sangat traumatik setelah terjadinya peristiwa subprime mortgage di AS. Pelaku pasar menjadi sangat hati-hati untuk membeli saham dan turunannya yang sumber dari sekuritisasi kredit perumahan. Sebab, dampaknya begitu hebat hingga mengguncang perekonomian AS dan sebagian dunia.
Beberapa contoh sumber pembiayaan perumahan, seperti yang dilakukan oleh CPF (Central Provident Fund) di Singapura, atau EPF (Employee Provident Fund) di Malaysia, tidak terlalu operasional untuk diterapkan di Indonesia. Disahkannya UU Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) yang diharapkan menjadi payung hukum bagi BPJS untuk menjadi salah satu sumber pembiayaan perumahan untuk rakyat, kenyataannya juga tidak mudah. Tarik-menarik kepentingan sulit dihindarkan, antara pendapat bahwa perumahan bukanlah masalah negara dan pendapat bahwa merupakan masalah privat tidak perlu atau dikurangi peran negara.
Situasi paling mutakhir adalah pembiayaan perumahan yang disediakan oleh negara melalui Badan Layanan Umum Kementerian Perumahan Rakyat (BLU-Kemenpera). Yang berhasil dihimpun oleh lembaga ini dari APBN untuk 2011 mencapai angka kurang lebih Rp 6,7 triliun. Tetapi, belum semua dana berhasil tersalurkan untuk membiayai perumahan, khususnya perumahan tapak dan rusun.
Menpera berusaha keras untuk menekan suku bunga yang ditanggung oleh konsumen kecil. Realisasinya digulirkan pola executing, yaitu pola pembiayaan perumahan dengan pendekatan blanded financing artinya risiko kolektibilitas ada di tangan bank pelaksana. Pola lainnya yang dicoba diinternalisasikan adalah pola channeling, yaitu pola pembiayaan perumahan yang berusaha menekan suku bunga serendah mungkin, dengan risiko kolektibilitas ada di tangan BLU-Kemenpera.
Jika memperhatikan kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dalam kondisi sekarang diperkirakan akan semakin sulit memperoleh rumah. Pada saat ini backlog perumahan mencapai kurang lebih 13 juta. Artinya, permintaan rumah sebanyak 13 juta unit tidak mampu dipenuhi oleh pasar maupun pemerintah. Jumlah ini akan terus meningkat jika asumsi kebijakan perumahan yang ada seperti sekarang ini, yaitu masih sulit merumuskan pola pembiayaan yang implementatif.
Keterjangkuan masyarakat kecil kota khususnya, untuk mendapatkan rumah akan kian sulit. Harga tanah diperkotaan sudah terlalu mahal karena terlalu kuatnya intervensi pasar oleh para spekulan tanah. Pemerintah pun terlambat mengantisipasinya dan usulan mendirikan lembaga yang mengelola tanah (land banking) juga dianggap terambat.
Pembangunan rumah susun (rusun) sebagai alternatif hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan, kenyataannya justru salah sasaran. Sangat disesalkan, rusun yang disubsidi itu salah sasaran karena banyak diborong sebagian masyarakat menengah atas. Pertanyannya, mengapa pemerintah selama ini lebih banyak memberikan perhatian kepada kalangan yang justru telah mendapatkan pembiayaan perumahan seperti TNI-Polri dari Asabri, pegawai negeri dari Bappertarum, dan karyawan atau buruh dari Jamsostek? Mereka ini justru mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Mestinya, pemerintah lebih memperhatikan masyarakat yang tidak memiliki pendapatan tetap (non fixed income) yang jumlahnya sangat besar. Keterjangkuan mereka terhadap hunian yang layak dan sehat sulit dipenuhi oleh dirinya sendiri. Maka, tidak mengherankan lahan permukiman kumuh terus mengalami peningkatan, dan diperkirakan luasnya bisa mencapai 54.000 ha. Diakui, pemerintah telah merumuskan program perumahan swadaya dengan dua pendekatan, meningkatkan kualitas rumah atau membangun rumah baru. Namun, di perkotaan, soal legalitas sering menjadi kendala besar yang sulit terselesaikan.
Dari semua itu, maka letak persoalan utamanya adalah keterjangkuan (affordability). Pemerintah kurang memperhatikan masalah rakyat kecil, khususnya yang berpenghasilan tidak tetap. Mereka selalu terbentur pada masalah pembiayaan, lahan, hukum dan sosial. Tanpa adanya kebijakan yang berpihak, sulit mewujudkan perumahan untuk masyarakat kecil, terutama yang berpenghasilan tidak tetap. Perlu dirumuskan konsep pembiayaan perumahan pro rakyat kecil.
Penulis adalah Direktur Ekonomi Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha
Sumber : SuaraKaryaOnline