Selanjutnya terang Erlangga, hal tersebut membuat para pengembang merugi, terbukti sampai akhir Februari lalu program KPR FLPP sempat terhenti. Disayangkan lagi kebijakan baru yang dikeluarkan Kementerian Perumahan Rakyat ( Kemenpera ), disebutkan bahwa KPR FLPP yang diberikan adalah untuk rumah minimal dengan ukuran 36. “Hal ini pasti sulit direalisasikan karena banyak pengembang yang membangun rumah di bawah tipe 36,” terangnya.
Hal yang sama juga diserukan Ketua Apersi (Asosiasi Pemukiman dan Perumahan Seluruh Indonesia ) Jatim, Nurhadi, bahwa sejak awal tahun 2012 rumah-rumah tersebut nasibnya relatif terkatung-katung, karena Pemerintah belum juga mengeluarkan aturan teknis dari UU no.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang berkaitan dengan hal tersebut sehingga bank pun tidak berani mengluarkan KPR (kredit pemilikan rumah).
Menurut Nur, pemerintah diharapkan bisa segera mencarikan jalan keluarnya. Karena semakin lama akan semakin besar beban yang ditanggung oleh pengembang, perbankan, maupun masyarakat. Malah kondisi terebut sangat berpotensi menjadi kredit macet.
Menyinggung prospek 2012 yang diwarnai stagnasi kisruh FLPP hampir dua bulan, juga bayang-bayang dampak kenaikan BBM dan TDL, Nurhadi mengaku akan berat untuk semua pihak. Sekalipun begitu dia tetap optimis, penyediaan rumah untuk masyarakat bisa lebih tinggi dari tahun lalu.
Sumber : SurabayaPost