Pria yang juga pengembang ini mengalami sendiri. "Untuk persyaratan FLPP saat ini sulit dipenuhi. Misalnya saja badan hukum pengembang harus perseroan terbatas (PT), tidak boleh CV,” katanya kepada Tribun, melalui sambungan telepon, Senin (21/5).
Ia menilai, syarat itu sulit dipenuhi oleh pengembang baru dan kecil. Terlebih di Jambi, developer dominan membangun rumah tipe kecil atau rumah bersubsidi.
Terlebih, adanya keterbatasan kuota untuk FLPP di Bank Tabungan Negara (BTN). Itu pun, kata dia, yang diutamakan adalah pengembang yang punya pinjaman modal untuk membangun rumah di BTN.
Menyiasati keterbatasan kuota itu, pengembang memilih program BTN yang menawarkan bunga KPR sebesar 8,5 persen dan fix 2 tahun. Cara ini juga ditempuh Yusuf.
Melihat kondisi ini, ia pesimis untuk bisa mencapai target pembangunan perumahan. Ia memperkirakan hanya mampu tercapai 30 persen dari target pembangunan rumah tahun ini.
Ditemui terpisah, Deputy Branch Manager Commercial BTN Jambi, Zulkifli membenarkan banyak pengembang tak mampu memenuhi persyaratan FLPP. "Menurut saya, banyak developer yang sulit memenuhi persyaratan FLPP ini,” katanya, kemarin.
Itulah sebabnya hingga kini, ketersediaan kuota untuk FLPP di BTN Jambi masih sekitar 60 persen. Itu, sambungnya, jika disetarakan sama dengan penyaluran sekitar Rp 10 miliar.
Ia menyebut, persyaratan yang dimaksud di antaranya sambungan listrik yang sudah terpasang, sarana dan prasarana di perumahan dan pengembang berbadan PT.
Zulkifli juga menyorot harga rumah yang ditawarkan pengembang yang di atas Rp 70 juta. Padahal KPR bersubsidi berlaku untuk harga di bawah itu. Ia mengakui banyak pengembang beralih pada program bunga 8,5 persen yang flat selama dua tahun. Program ini yang sedianya berakhir pada Maret 2012 oleh BTN diperpanjang hingga 29 Juni 2012.