YOGYAKARTA (Suara Karya): Kondisi usaha jasa konstruksi saat ini dinilai sudah tidak sehat. Ini dilihat dengan terbentuknya pasar oligopsoni yang akan mendorong perilaku banting harga (predatory pricing) untuk suatu proyek. Padahal, ini jelas-jelas dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UGM Yogyakarta Danang Parikesit menjelaskan, oligopsoni merupakan kondisi terdapat banyak pelaku usaha yang memperebutkan sedikit penawaran usaha, sehingga pendapatan rata-rata, baik buruh maupun tenaga ahli yang bekerja di sektor ini, termasuk paling rendah, yaitu peringkat kelima setelah berbagai pekerjaan profesional lain.
"Yang terjadi justru eksploitasi tenaga kerja yang luar biasa di sektor ini. Karena komponen alat dan bahan pada umumnya merupakan biaya tak terhindarkan. Ini berakibat mutu produk jadi terkorbankan," katanya dalam bedah buku berjudul Konstruksi Indonesia 2011: Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan, Inovasi, Investasi, dan Dukungan Sektor Konstruksi di Indonesia di UGM Yogyakarta, kemarin.
Turut hadir sebagai pembicara Staf Ahli Gubernur DI Yogyakarta Bayudono dan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi DI Yogyakarta Ilham Purnomo serta dipandu oleh moderator Akhmad Suraji (Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah DI Yogyakarta).
Sementara itu, Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi DI Yogyakarta Ilham Purnomo mengatakan, kondisi badan usaha yang tidak sehat tersebut mengakibatkan banyak tenaga ahli memilih untuk meminjamkan ijazah maupun sertifikat keahliannya ke perusahaan lain. Tentunya untuk mengerjakan proyek dengan kompensasi uang senilai tertentu dibanding menjalankan usaha sendiri.
"Karena dengan meminjamkan sertifikat tersebut, lebih minim risiko. Selain itu, banyak pula perusahaan yang memilih meminjam bendera perusahaan lain ketimbang menggunakan badan usaha miliknya sendiri untuk mengerjakan suatu proyek," katanya.
Situasi kian memprihatinkan dengan kompensasi tenaga ahli yang terbilang rendah. Seorang tenaga ahli di perusahaan digaji hanya 4-6 bulan sesuai jangka waktu pekerjaan untuk hidup satu tahun. Ini dikarenakan proyek-proyek pemerintah umumnya hanya berlangsung 4-6 bulan dalam satu tahun. Di samping itu, standar harga satuan pekerjaan, bahan, dan material yang ditetapkan pemerintah juga cukup rendah.
Ilham menyebutkan, biaya operasional perusahaan dengan kualifikasi K1 di DIY mencapai Rp 130 juta per tahun. Padahal rata-rata konsultan hanya mendapatkan pekerjaan tunjukan rata-rata dua paket senilai Rp 25 juta-Rp 50 juta per tahun.
Sumber : SuaraKaryaOnline.Com
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UGM Yogyakarta Danang Parikesit menjelaskan, oligopsoni merupakan kondisi terdapat banyak pelaku usaha yang memperebutkan sedikit penawaran usaha, sehingga pendapatan rata-rata, baik buruh maupun tenaga ahli yang bekerja di sektor ini, termasuk paling rendah, yaitu peringkat kelima setelah berbagai pekerjaan profesional lain.
"Yang terjadi justru eksploitasi tenaga kerja yang luar biasa di sektor ini. Karena komponen alat dan bahan pada umumnya merupakan biaya tak terhindarkan. Ini berakibat mutu produk jadi terkorbankan," katanya dalam bedah buku berjudul Konstruksi Indonesia 2011: Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan, Inovasi, Investasi, dan Dukungan Sektor Konstruksi di Indonesia di UGM Yogyakarta, kemarin.
Turut hadir sebagai pembicara Staf Ahli Gubernur DI Yogyakarta Bayudono dan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi DI Yogyakarta Ilham Purnomo serta dipandu oleh moderator Akhmad Suraji (Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah DI Yogyakarta).
Sementara itu, Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi DI Yogyakarta Ilham Purnomo mengatakan, kondisi badan usaha yang tidak sehat tersebut mengakibatkan banyak tenaga ahli memilih untuk meminjamkan ijazah maupun sertifikat keahliannya ke perusahaan lain. Tentunya untuk mengerjakan proyek dengan kompensasi uang senilai tertentu dibanding menjalankan usaha sendiri.
"Karena dengan meminjamkan sertifikat tersebut, lebih minim risiko. Selain itu, banyak pula perusahaan yang memilih meminjam bendera perusahaan lain ketimbang menggunakan badan usaha miliknya sendiri untuk mengerjakan suatu proyek," katanya.
Situasi kian memprihatinkan dengan kompensasi tenaga ahli yang terbilang rendah. Seorang tenaga ahli di perusahaan digaji hanya 4-6 bulan sesuai jangka waktu pekerjaan untuk hidup satu tahun. Ini dikarenakan proyek-proyek pemerintah umumnya hanya berlangsung 4-6 bulan dalam satu tahun. Di samping itu, standar harga satuan pekerjaan, bahan, dan material yang ditetapkan pemerintah juga cukup rendah.
Ilham menyebutkan, biaya operasional perusahaan dengan kualifikasi K1 di DIY mencapai Rp 130 juta per tahun. Padahal rata-rata konsultan hanya mendapatkan pekerjaan tunjukan rata-rata dua paket senilai Rp 25 juta-Rp 50 juta per tahun.
Sumber : SuaraKaryaOnline.Com