
Rusia, tuan rumah pertemuan, menjadikan pendanaan investasi sebagai sarana memicu pertumbuhan ekonomi global sebagai prioritas agenda pertemuan. Inisiatif itu menitikberatkan perhatian pada kesulitan yang dihadapi negara miskin dalam membiayai pembangunan jalan, jembatan, serta prasarana lain yang penting bagi pembangunan.
Topik tersebut dapat menjadi tujuan bersama bagi G-20, tepat ketika depresiasi yen Jepang atas mata uang lain memunculkan friksi di antara negara-negara yang bersaing merengkuh pasar ekspor.
Menurut prediksi Bank Dunia, arus investasi ke proyek infrastruktur di negara berkembang sekitar $800 miliar hingga $900 miliar tiap tahun. Namun, negara-negara ini masih membutuhkan sekitar $1 triliun lagi untuk memenuhi kian bertambahnya permintaan dari konsumen dan produsen.
Kondisi keuangan global cenderung lebih stabil sejak G-20 menggelar pertemuan sebelumnya di Mexico City pada November tahun lalu. Namun, negara-negara pasar berkembang masih menjadi tumpuan ekonomi negara industri maju yang dihantam kelesuan ekonomi global. Beberapa negara berkembang itu kian lantang menyuarakan keengganan untuk terus menjadi tumpuan.
Negara-negara berkembang juga merasa frustrasi dengan berbagai tindakan yang diambil negara industri untuk menyelamatkan ekonominya. Pembelian surat utang oleh bank sentral AS dan negara lainnya telah memaksa suku bunga global turun ke tingkat terendah dalam sejarah. Ini memacu derasnya arus uang ke pasar negara berkembang karena para investor menginginkan imbal hasil lebih baik.
Di tengah suku bunga rendah dan tumpukan utang, banyak negara hanya memiliki sedikit ruang untuk mendongkrak pertumbuhan dengan kebijakan fiskal dan moneternya. Mereka berharap investasi di sektor infrastruktur akan disumbang oleh sektor swasta. Namun, perusahaan swasta kerap menaruh curiga terhadap proyek-proyek besar dan mahal di negara-negara beriklim politik dan regulasi yang dipandang tak stabil. Banyak proyek yang urung dimulai karena investor takut imbal hasilnya tak cukup tinggi untuk mengompensasi risiko.
Di Asia, masalah mangkraknya proyek infrastruktur akibat masalah pendanaan sudah merupakan hal biasa. Contohnya Jakarta. Upaya pemerintah untuk membangun dua lajur monorel terhenti pada tahun 2008 setelah para investor gagal mendapat pembiayaan sebesar $500 juta. Para kreditor dari Dubai meminta jaminan dari pemerintah pusat, yang tentu saja tidak dikabulkan oleh pemerintah.
Di Filipina, rencana membangun sistem kereta api Northrail untuk menghubungkan Manila dengan provinsi di sebelah utara ditunda setelah pemerintah Cina membatalkan pinjaman yang telah dijanjikan.
Para ekonom mengatakan G-20 bisa memainkan peran penting dengan menurunkan risiko bagi pemain dari sektor swasta. Perusahaan, perbankan, dan penanam modal niscaya akan sudi berinvestasi. “Kami harus menimbang pelbagai cara inovatif dalam mencari pembiayaan,” ujar Menteri Urusan Ekonomi India, Arvind Mayaram.
Bank Dunia memproyeksikan bahwa negara-negara di wilayah Pasifik Asia Timur membutuhkan investasi infrastruktur sekitar $407 miliar per tahun. Sementara itu, Asia Selatan membutuhkan sekitar $191 miliar.
Sumber : WSJ